Uban Utusan Zat Pemilik Kehidupan

Kematian adalah kepastian. Sebab kedatangannya beraneka ragam, bisa karena wabah penyakit (pandemi), sakit, kecelakaan, terbunuh, atau apapun. Namun yang jelas, sebelum kedatangannya kepada seseorang, kematian kerap memberikan pertanda bahwa dia akan segera datang.

Salah satunya lewat uban yang tumbuh di kepala atau jenggot. Maka, uban adalah utusan yang Allah kirim kepada seorang hamba untuk mengabarkan kalau waktu kepulangannya sudah sangat dekat. Sehingga, dia dituntut untuk lebih serius mempersiapkan bekal.

Ada nasihat yang sangat indah dari Imam Ibnul Jauzi rahimahullâh. Beliau berkata, “Wahai Fulan, uban itu bagaikan azan dan maut adalah iqamat, sedangkan engkau belum juga bersuci.” (Al-Mudhisy, 1/293)

Perbesar Nilai Amal dengan Meluruskan Niat

Sungguh beruntung seseorang yang amalannya kecil menurut penilaian manusia akan tetapi besar dalam pandangan Allah. Dan, amat merugi seseorang yang amalannya besar dalam pandangan manusia akan tetapi kecil, bahkan sia-sia, menurut penilaian Allah.

Bagaimana bisa? Satu penyebabnya ada pada niat yang melandasinya. Maka, Syaikh Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad menasihatkan:

“Betapa banyak perbuatan yang sedikit menjadi banyak nilainya karena niat yang baik. Dan betapa banyak perbuatan yang banyak menjadi sedikit nilainya, karena niat yang buruk. (Maka), Siapa yang niatnya baik, niscaya harapannya akan tercapai.”

Hadist yang Menjadi Poros Ajaran Islam

Al-Imam Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Abu Dawud, salah seorang ahli hadits terkemuka, mengungkapkan:

“Aku menulis 500.000 hadits dari Rasulullah saw. Lalu, aku pilih sebagaimana yang ada di dalam kitab ini (As-Sunan). Aku kumpulkan 4.800 hadits di dalamnya dengan menyebutkan mana hadits yang sahih, yang serupa, atau mendekati sahih. Dari 4.800 hadits tersebut, manusia cukup memiliki empat hadits untuk agamanya.”

Pertama, “Innamal a’malu bin-niyyati … sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niat.”

Kedua, min husni islamil-mar’i tarku maa laa ya’nih … di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.

Ketiga, laa yakuunul-mu’minu mu’minan hattaa yardhaa li akhiihi ma yardhaahu li nafsih … seorang mukmin tidak akan sempurna imannya sampai dia ridha kepada saudaranya sebagaimana dia ridha kepada dirinya sendiri.

Keempat, al-halaalu bayyinun wal-haraamu bayyinun wa baina dzaalika umuurun musytabihaatun … yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (meragukan).”

(Al-Hafizh Ibnul Jauzi, Shifatus Shafwah)

Siapakah yang Menyusun Surat dan Ayat dalam Al-Qur’an ?

Utsman bin Abil ‘Ash berkata, “Aku tengah duduk di samping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, ‘Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat …’ (QS Al-Nahl, 16:90).” (HR Ahmad)

Berdasarkan riwayat tersebut, para ulama menyatakan bahwa susunan ayat itu bersifat tauqifi, artinya ketentuan dari Rasulullah saw. Ketentuan ini pun bukan ijtihad Rasulullah saw. atau para sahabat, melainkan ketentuan Allah yang disampaikan melalui Jibril. Pendapat ini adalah ijmak, yaitu kesepakatan para ulama, ahli Al-Quran, dan ahli sejarah.

Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnuz Zubair dalam Munasabah misalnya, mereka menyatakan bahwa tertib ayat-ayat di dalam surah-surah itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah saw. dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum Muslimin. Pada praktiknya, Rasulullah saw. biasanya langsung menginstruksikan para sahabat penulis Al-Quran tentang letak ayat pada setiap surah.

Saat Umar Mengadukan Ali kepada Nabi SAW

Rasulullah saw. bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku ada dalam kekuasaan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sebelum beriman. Dan, kalian tidak beriman sebelum saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang menjadikan kalian saling mencintai? Seberakanlah salam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra.)

Maka, ada satu kisah menarik. Suatu hari, Umar bin Khathab ra. mengadukan Ali bin Abi Thalib ra. kepada Rasulullah saw. Beliau lalu bertanya, “Mengapa engkau mengadukan saudaramu, wahai Umar? Apakah dia menghardikmu? Apakah dia mengambil sesuatu dari milikmu tanpa kerelaanmu?”

Umar menjawab, “Tidak, ya Rasulullah! Namun, apabila bertemu denganku di perjalanan, dia (Ali bin Abi Thalib) tidak pernah mengawali salam sebelum aku mengucapkannya terlebih dahulu.”

Rasulullah saw. kemudian memanggil Ali dan bertanya, “Mengapa engkau tidak pernah mengawali salam kepada saudaramu ini?”

Ali pun menjawab, “Wahai kekasih Allah, aku mendengar engkau bersabda, ‘Siapa mengawali salam kepada saudaranya, niscaya Allah akan membuatkan sebuah istana untuknya di surga’. Maka, aku ingin agar saudaraku Umar yang mengawali salam sehingga dia bisa mendapatkan istana itu.”

Sajian Ruhani Penyejuk Iman, Syaikh Ahmad As-Sa’dani.

Gugurkan Dosa dengan Ucapan Salam dan Jabatan Tangan

Nabi saw. menasihatkan, “Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu mereka berjabat tangan, kecuali keduanya diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud, 3:979, No. 4343)

Dalam hadits lain, beliau saw. bersabda, “Sungguh, ketika seorang Mukmin bertemu dengan Mukmin yang lain, lalu dia mengucapkan salam dan meraih tangannya, lalu berjabat tangan, niscaya dosa-dosa mereka berguguran seperti daun-daun pohon yang berguguran.” (HR Ath-Thabrani, As-Silsilah Ash-Shahihah, 2:47, No. 526)

Sesungguhnya, telapak tangan yang saling berjabat, ikatan qalbu yang terjalin, dan emosi positif yang saling terpaut, semua itu akan menumbuhkan cinta, menyalakan iman di dada, menggugurkan dosa, untuk kemudian melahirkan sikap saling tolong menolong dan kerjasama dalam kebaikan.

Itulah mengapa, setiap pagi, sahabat Anas bin Malik ra. selalu mengolesi tangannya dengan minyak wangi untuk bersalaman dengan para saudaranya, demikian Tsabit Al-Banani meriwayatkan. (Shahih Al-Adab Al-Mufrad, No. 410)

Mengapa demikian? Sahabat yang mulia ini amat paham dengan sabda Rasulullah saw. tentang keutamaan berjabat tangan, dan dia ingin menyempurnakannya dengan mewangikan kedua telapak tangan.

Aku Lihat Kebaikan Hanya dari-Nya

Tidak ada ketakutan yang paling menghantui manusia selain takut akan kematian. Besarnya rasa takut akan mati, membuat manusia rela melakukan apa saja agar kematian menjauh darinya, atau setidaknya bisa tertunda kedatangannya.

Maka, orang takut Covid 19, orang takut sakit ini sakit itu, atau lebih jauh lagi, orang takut membela agama Allah, sejatinya bersumber dari ketakutan mereka akan kematian.

Padahal, bagi orang beriman tidak ada yang layak untuk ditakutinya dalam hidup, termasuk kematian, kecuali di mati tidak membawa bekal yang cukup. Dia mati dalam keadaan dibenci Tuhannya. Dia mati dalam keadaan bermaksiat. Inilah yang layak untuk kita takuti, bukan kematiannya. Bukankah kematian adalah sesuatu yang pasti kedatangannya?