Serba Serbi Juz’Amma

Juz Amma adalah nama lain dari Juz 30 dalam mushaf. Penyebutan Juz Amma disangkutkan dengan kalimat pertama dari surat An-Naba’, yaitu ‘Amma yatasâ alûn.

Layaknya ayat-ayat, surat dan juz lainnya dari Al-Quran, Juz Amma memiliki keunikan dan karakteristiknya tersendiri. Berikut ini sejumlah banyak fakta menarik terkait juz paling akhir dari mushaf Al-Quran ini:

Juz ‘Amma terdiri dari 37 surat dengan redaksi yang pendek-pendek.

Dilihat dari urutan surat dalam Al-Quran, surat-surat dalam Juz ‘Amma dimulai dari surat nomer 78 (An-Naba’) dan berakhir di surat nomer 114 (An-Nâs).

Tiga surat pertamanya, yaitu An-Naba’ (40 ayat), An-Nâzi’at (46 ayat) dan ‘Abasa (42 ayat) menjadi surat terpanjang. Adapun surat terpendek adalah surat Al-Kautsar dan Al-Ikhlash.

Mayoritas surat dalam Juz ‘Amma tergolong surat Makkiyah karena diturunkan pada masa kenabian pertama (masa sebelum hijrah ke Madinah)

Ada dua surat dalam Juz ‘Amma yang tergolong surat Madaniyyah, yaitu Al-Bayyinah dan An-Nashr. Ada pula yang menambahkan dengan surat Al-Zalzalah.

Tema utama yang dibahas dalam surat-surat Juz ‘Amma adalah seputar akidah (pengesaan Allah) dan hari Akhir (hari Kiamat).

Obati Sakitmu dengan Al-Quran

Al-Quran adalah sebaik-baik obat penawar. Itu pasti. Namun, efek penyembuhannya tergantung pada sekuat apa keyakinan kita kepadanya.

Ketika seseorang meyakini bahwa Al-Quran adalah sebaik-baik penyembuh, kemudian dia istiqamah membacanya sesuai kaidah yang ditetapkan agama, niscaya dia akan merasakan bahwa setiap huruf, kata, dan kalimat dalam Al-Quran mengandung unsur penyembuh yang dahsyat, baik bagi penyakit lahir maupun batin.

Maka, bacaan Al-Quran tidak sekadar menghilangkan sakit hati tetapi juga meredam nyeri fisik. Bacaan Al-Quran tidak sekadar menyehatkan organ batiniah, tapi juga bisa menyehatkan organ lahiriyah, semisal jantung, otak, paru-paru, dan lainnya.

Maka, bacaan Al-Quran bisa menjadi penawar bagi gangguan insomnia, stres, depresi, sekaligus menjadi peredam rasa nyeri. (Dr. Jamal Elzaky, Terapi Baca Al-Quran).

Bolehkah Memakai Sepatu Sambil Berdiri ?

Ada sunnah Rasulullah saw. saat kita memakai sepatu atau kaus kaki, yaitu kita melakukannya sambil duduk. Dari Jabil bin Abdullah ra. dia berkata bahwa Rasulullah saw. melarang seseorang mengenakan alas kaki (sepatu) sambil berdiri (HR At-Tirmidzi dan Abu Dawud, dalam Silsilah Ash-Shahihah, No. 719)

Mengapa demikian? Sesungguhnya, mengenakan sepatu sambil duduk lebih mudah dilakukan. Adapun mengenakannya sambil berdiri dapat membuat seseorang terjatuh. Dengan demikian, perintah untuk mengenakan alas kaki sambil duduk dan dengan pertolongan tangan dimaksudkan agar seseorang terjaga dari hal-hal yang menyusahkan atau mencelakakan, semisal terpeleset atau terjatuh (Al-Khattabi, Ma’alimus Sunan, 4/203).

Bagaimana dengan sendal jepit? Dalam Syarh Riyadhus Shalihin disebutkan bahwa terkait alas kaki yang biasa kita gunakan (seperti sendal atau sendal jepit), tidak ada masalah jika dikenakan sambil berdiri dan sama sekali tidak masuk dalam larangan dalam hadits. Karena sendal yang ada saat ini mudah sekali dilepas dan dikenakan.

Tiga Kelompok Orang yang Mendapat Jaminan Rumah di Surga

Mendapatkan hadiah rumah di dunia saja sudah bahagia, apalagi kalau kita mendapatkan hadiah rumah di surga. Bagaimana rasanya? Tidak terbayangkan bahagianya. Inilah di antara puncak dari puncaknya kebahagiaan.

Sejatinya, ada sejumlah orang yang mendapatkan jaminan dari Rasulullah saw. untuk mendapatkan rumah di surga. Siapakah mereka?

Dari Abu Umamah Al-Bahili ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah penjamin rumah di surga paling rendah bagi orang yang meninggalkan debat kusir sekalipun dia benar; penjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun dia bercanda; dan penjamin surga tertinggi bagi orang yang berakhlak mulia.” (HR Abu Dawud, No. 4800)

Perbaiki Nasib dengan Memperbaiki Niat

Kadar pertolongan Allah Ta’ala kepada kita sesuai dengan kadar niat yang ada di dalam hati kita. Semakin lurus niat kita karena mengharap keridhaan Allah, semakin cepat dan semakin kuat pula pertolongan Allah akan mendatangi kita.

Salim bin Abdullah rahimahullâh pernah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz. Adapun isi suratnya adalah sebagai berikut:

“Ketahuilah, pertolongan Allah kepada seorang hamba sesuai dengan kadar niatnya. Siapa sempurna niatnya, sempurna pula pertolongan Allah kepadanya. Jika niatnya kurang, dia pun berkurang sesuai kadarnya.” (Al-Ihya’, 4:318)

Tiga Macam Dunia

Kita hidup di dunia. Lahir, tumbuh, besar dan menua di dunia. Itu artinya kita butuh dunia (makanan, minuman, harta, dan beragam aksesories dunia). Namun, dunia bagi seorang Mukmin berbeda dengan dunia bagi seorang kafir atau munafik. Apa bedanya?

Abdullah bin Abbas ra. berkata, “Sesungguhnya, Allah Ta’ala membagi dunia ke dalam tiga bagian. Satu bagian untuk orang beriman. Satu bagian untuk orang munafik. Dan, satu bagian untuk orang kafir. Orang beriman menjadikannya sebagai bekal. Orang munafik menjadikannya sebagai perhiasan. Adapun orang kafir menjadikannya sebagai kenikmatan.”

Mengapa Orang Nekad Bermaksiat Padahal Dia Tahu Keburukan dan Akibatnya?

Mengapa ada orang yang tahu korupsi itu haram, bergosip itu haram, selingkuh itu haram, tetapi dia tetap saja melakukannya? Ada dua alasannya.

Sesungguhnya, terjadinya perbuatan haram disebabkan karena dua hal. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa seorang hamba tidak melakukan hal yang diharamkan Allah, kecuali karena dua perkara.

Pertama, dia berprasangka buruk kepada Allah. dia mengira bahwa apabila dia mentaati-Nya dan mengutamakan perintah-Nya dalam meninggalkan perkara yang diharamkan, Allah tidak akan memberinya sesuatu yang halal dan lebih baik dari perkara haram yang dilakukannya.

Kedua, dia tahu bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah pasti akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Hanya saja, nafsu syahwatnya mengalahkan kesabaran dan akalnya.

Orang pertama jatuh pada keharaman karena tidak memiliki ilu atau wawasan yang luas. Adapun orang kedua, dia jatuh pada keharaman karena kelemahan akal dan matahatinya. (Al-Fawa’id)