Jadilah Pakaian untuk Pasanganmu

“… mereka (para istri) adalah pakaian (libas) bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka …” (QS Al-Baqarah, 2:187)

Apa makna pakaian di sini? Sejatinya dia adalah sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan seksual di antara suami istri. Keduanya hendaknya saling menaungi dengan keluasan kasih sayang dan keinginan untuk senantiasa bersatu.

Suami mampu menjadikan istrinya taat kepadanya sehingga dia berada dalam naungannya. Istri pun mampu menundukkan kekuatan dan kekuasaan suaminya dengan kelembutan dan kewanitaannya. Sehingga, sang suami pun berada dalam naungannya.

Dengan cara inilah, ikatan cinta di antara suami istri senantiasa indah dan terjaga sebagaimana pakaian menjaga dan memperindah orang yang memakainya.

Demikian penjelasan, Dr. Ikram Thal’at dalam bukunya yang berjudul 55 Nashihah li Al-Banat Qabl Al-Zawaj (55 Nasihat Bagi Wanita Sebelum Menikah).

Berbanggalah Menjadi Orangtua Mereka

Baik dan buruknya seorang anak sangat tergantung pada cara kedua orangtua memperlakukan dia. Anak akan belajar menerima dirinya sebagaimana orangtuanya menerima keberadaannya. Anak akan belajar menerima kehadiran orangtuanya sebagaimana kedua orangtua menerima kehadirannya. Dia pun akan bangga kepada dirinya sebagaimana cara orangtua bangga kepadanya.

Maka, bagi para orangtua, cukuplah berbangga diri untuk menjadi orangtua bagi anak-anaknya sehingga mereka merasa dihargai, dihormati, disayangi dan dimanusiakan. Adapun bangganya orangtua kepada anak adalah tentang bagaimana memberikan hati untuk menerima anak apa adanya, bukan tentang meminta anak menjadi seperti yang dia inginkan.

Syukuri Apa yang Ada. Senangi Apa yang Terjadi

Kata orang yang belum punya anak, “Duh senangnya ya kalau punya anak!”

Kata orang yang belum menikah, “Duh senangnya kalau bisa cepat nikah!”

Kata orang yang belum punya rumah, “Duh senangnya ya kalau punya rumah sendiri, tidak ngontrak!”

Ada banyak hal yang kita inginkan dalam hidup: ingin menikah, ingin punya anak, ingin punya rumah, ingin ini ingin itu! Boleh-boleh saja sih. Hanya saja, apa yang kita inginkan kerap belum menjadi kenyataan. Jika demikian, jangan kecewa, jangan berburuk sangka, apalagi berputus asa. Syukurilah apa yang ada agar Allah memberikan apa yang belum ada.

Ada satu kata nasihat dari Ali bin Abi Thalib ra. “Apabila sesuatu yang kau senangi belum terjadi, senangilah apa yang terjadi!”

4 Pesan Rasulullah SAW, untuk Keluarga Kita

Andai orangtua hendak berwasiat kepada anak-anaknya, empat nasihat Rasulullah saw. ini dapat dijadikan panduan. Tentu saja, setelah kita (sebagai orangtua) berusaha pula untuk mengamalkannya.

Rasulullah saw. bersabda, “Empat hal yang jika semuanya ada padamu, dunia yang meninggalkanmu niscaya tidak akan membahayakanmu: menjaga amanah, berkata jujur, berakhlak mulia, dan menjaga diri dari makanan (harta) haram.” (HR Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Diawali dari Memperbaiki Diri

Pasangan kita adalah cerminan diri kita. Buruknya kualitas pasangan, itu menunjukkan buruknya kualitas diri kita.

“… dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS An-Nûr, 24:26)

Maka, jika ingin mengubah pasangan menjadi lebih baik, awalilah dengan memperbaiki diri. Tuntutlah diri sendiri sebelum menuntut orang lain.

Apa yang harus diperbaiki? Ilmunya, ibadahnya, sikap dan adabnya, pelayanannya, perhatiannya, kesabarannya, termasuk pula kesetiaannya.

Bimbingan Orangtua Berlaku Sepanjang Usia

Bagaimana keadaan rumah kita? Apakah lebih kental nuansa “akhiratnya” ataukah lebih tampak nuansa “duniawinya”. Sesungguhnya, rumah adalah cerminan penghuninya.

Di rumah pecinta amal saleh, akan tampak aneka jejak kesalehan. Adapun di rumah pecinta amal salah, akan tampak beragam jejak kemaksiatan.

Maka, ada satu nasihat berharga dari Malik bin Dinar:

“Orang berilmu adalah orang yang apabila engkau mengunjungi rumahnya, sedangkan engkau tidak mendapatinya, maka rumahnya akan menceritakan keadaannya kepadamu.

Engkau akan melihat tikar (sajadah) untuk shalat, mushaf dan tempat wudhu di samping rumahnya. Engkau pun akan melihat bekas-bekas akhirat ada di sana.”

(Al-Hafizh Ibnul Jauzi, Shifatush Shafwah, 3:286).

Cara Cerdas untuk Bahagia

Bahagia adalah hak semua orang. Bahagia tidak memandang harta, pangkat, popularitas, ketampanan, kekuatan dan beragam aksesories duniawi. Maka, siapapun layak untuk mendapatkannya selama dia bisa memenuhi persyaratannya.

Apa itu?

Satu yang tepenting adalah manakala ada rasa syukur di dalam hati. Saat seseorang mampu mensyukuri nikmat Ilahi, maka Allah akan berikan bonus kebaikan baginya, yaitu ketenangan dan kebahagiaan.