Qadha Shalat Fardhu

Meng-Qadha Shalat Fardhu

والقضاء: فعل الواجب بعد وقته. أو إيقاع الصلاة بعد وقتها.

“Qadha’: adalah melaksanakan kewajiban setelah waktunya, atau menjalankan shalat setelah habis waktunya.” [1]

Hukumnya Wajib tidaknya mengqadha shalat tergantung kepada alasan mengapa seseorang sampai meninggalkan shalat hingga lewat waktunya.

Pertama, jika seseorang tidak mengerjakan shalat fardhu hingga waktunya habis karena ada udzur lupa atau tertidur, maka dia tidak berdosa karena kealpaan tersebut,

namun wajib mengqadha shalat yang tertinggal tersebut, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama tentang hal ini.[2]

Alasannya adalah Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Diriwayatkan dari Abu Qatadah, ia berkata, para shahabat memberitahu Nabi SAW tentang tidur mereka melalaikan dari melakukan shalat (pada waktunya),

maka Nabi SAW bersabda; “sesungguhnya tidak ada masalah lalai kalau sedang tidur, sesungguhnya lalai itu dalam keadaan jaga (sadar),

maka apabila lupa salah satu di antaramu atau sedang tidur (sehingga tidak mengerjakan shalat), maka kerjakanlah shalat apabila telah ingat”. (HR. At-Tirmidzi)[3]

Kedua, Jika alasan tidak shalatnya karena udzur gila, atau hilang akal sebab pingsan, atau koma, maka Menurut mayoritas ‘ulama (Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyyah) tidak wajib qadha shalatnya.

Termasuk juga udzur karena haidh/nifas tidak wajib qadha, diantaranya tiga waktu yakni
1) saat datangnya haidh,
2) saat berhentinya haidh dan
3) saat sebelum berhentinya haidh
(Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad)

Ketiga, jika alasan tidak shalatnya karena malas/tidak ada udzur syar’i, maka menurut mayoritas ‘ulama
(empat madzhab) dia berdosa, wajib memohon ampun atas dosanya, dan wajib mengqadhanya, Walaupun shalat yang ditinggalkan tersebut banyak jumlahnya.

Sebagian ‘ulama, seperti Ibnu Hazm dari Madzhab Dzahiri, Ibnu Taymiyah, dan Abdullah bin Baz tidak mewajibkan qadha jika seseorang meninggalkan shalat tanpa udzur.

Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi (w. 294 H) berkata:

فَإِذَا تَرَكَ الرَّجُلُ صَلَاةً مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا فَعَلَيْهِ قَضَاؤُهَا، لَا نَعْلَمُ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا، إِلَّا مَا يُرْوَى عَنِ الْحَسَنِ

“Jika seseorang meninggalkan shalat secara sengaja hingga habis waktunya maka wajib baginya mengqadhanya, aku tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat dalam hal ini, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Hasan.”[4]

Imam Al-Nawawi (w. 676 H) juga menyatakan adanya ‘ijma ‘ulama akan wajibnya qadha shalat bagi yang sengaja meninggalkannya.

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ الَّذِينَ يُعْتَدُّ بِهِمْ عَلَى أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلَاةً عَمْدًا لَزِمَهُ قضاؤها
“Telah ber ijma’ para ‘ulama yang dapat diperhitungkan, bahwa siapa saja yang meninggalkan shalat dengan sengaja wajib baginya mengqadhanya.”[6]

Waktu Mengqadha’ Shalat

Tidak disyaratkan dalam mengqadha’ shalat pada waktu yang sama dengan shalat yang ditinggalkan, diperbolehkan mengqadha’ shalat dhuhur di waktu isya’, tengah malam, pagi hari atau waktu lainnya.

Jika mengqadha’ shalat Jahriyah (shalat maghrib, isya’ dan subuh) di siang hari disunnahkan mengisror (melirihkan) bacaan.

Sebaliknya mengqadha’ shalat sirriyah (shalat dhuhur dan ashar) di malam hari disunahkan untuk mengeraskan bacaan. [9]

Tidak Ingat Jumlahnya

Jika tidak ingat berapa kali shalat yang telah ditinggalkan, maka mayoritas ‘ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) berpandangan bahwa dia wajib mengqadha semuanya hingga dia yakin bahwa semuanya sudah tertunaikan, sedangkan kalangan Hanafiyah mencukupkan sekedar menduga kuat bahwa sudah tertunaikan semuanya maka sudah cukup.[11]

Wa Allaahu A’lam.

[1] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Cet. II. (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985), Juz 2, hlm. 130.

[2] Sebagian kalangan, seperti Muhammadiyah menolak istilah qadha shalat ini, namun mereka tetap mewajibkan shalat pengganti karena tertinggal atau tertidur.

[3] Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1975), Juz 1, hlm. 334.

[4] Muhammad bin Nashr al-Marwazi, Ta’dhîmu Qadr al-Shalât, Cet. I. (Madinah: Maktabah al-Dâr, 1406), Juz 2, hlm. 975.

[6] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (Ma’a Takmilah al-Subki Wa al-Muthi’i) (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), Juz 3, hlm. 71.

[8] Dubyân bin Muhammad al-Dubyân, Wujûb Al-Qadhâ ‘Ala Man Akhkhara al-Shalât Hatta Khoroja Waqtahâ Muta’Ammidan (Syabakah al-Alûkah, n.d.), hlm. 33.

[9] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (Ma’a Takmilah al-Subki Wa al-Muthi’i), Juz 3, hlm. 390.:

وَأَمَّا الْفَائِتَةُ فَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ اللَّيْلِ بِاللَّيْلِ جَهَرَ بِلَا خِلَافٍ وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ بِالنَّهَارِ أَسَرَّ بِلَا خِلَافٍ وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ لَيْلًا أَوْ اللَّيْلِ نَهَارًا فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُمْ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِوَقْتِ الْقَضَاءِ فِي الْإِسْرَارِ وَالْجَهْرِ صَحَّحَهُ الْبَغَوِيّ وَالْمُتَوَلِّي وَالرَّافِعِيُّ

(وَالثَّانِي)

الِاعْتِبَارُ بِوَقْتِ الْفَوَاتِ وَبِهِ قَطَعَ صَاحِبُ الْحَاوِي قَالَ لَكِنْ يَكُونُ جَهْرُهُ نَهَارًا دُونَ جَهْرِهِ لَيْلًا وَطَرِيقَةُ الْمُصَنِّفِ مُخَالِفَةٌ لِهَؤُلَاءِ كُلِّهِمْ فَإِنَّهُ قَطَعَ بِالْإِسْرَارِ مُطْلَقًا (قُلْتُ) كَذَا أَطْلَقَ الْأَصْحَابُ لَكِنَّ صَلَاةَ الصُّبْحِ وَإِنْ كَانَتْ نَهَارِيَّةً فَلَهَا فِي الْقَضَاءِ فِي الْجَهْرِ حُكْمُ اللَّيْلِيَّةِ وَلِوَقْتِهَا فِيهِ حُكْمُ اللَّيْلِ وَهَذَا مُرَادُ الْأَصْحَابِ

[10] Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait: Wuzarât al-Awqâf wa al-Syu-ûn al-Islâmiyyah, 1427), Juz 34, hlm. 33–34.:

قَال النَّوَوِيُّ: مَنْ لَزِمَهُ صَلاَةٌ فَفَاتَتْهُ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا، سَوَاءٌ فَاتَتْ بِعُذْرٍ أَوْ بِغَيْرِهِ، فَإِنْ كَانَ فَوَاتُهَا بِعُذْرٍ كَانَ قَضَاؤُهَا عَلَى التَّرَاخِي، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْضِيَهَا عَلَى الْفَوْرِ.

[11] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz 2, hlm. 143.

Shalat Bagi Musafir

Matan Taqrib:

(فصل) ويجوز للمسافر قصر الصلاة الرباعية بخمس شرائط: أن يكون سفره في غير معصية. وأن تكون مسافته ستة عشر فرسخا. وأن يكون مؤديا للصلاة الرباعية. وأن ينوي القصر مع الإحرام. وأن لا يأتم بمقيم.

Syarat Shalat Qoshor
(Pasal) Boleh bagi musafir (orang yang melakukan perjalanan) untuk mengqoshor[1]

Shalat yang empat raka’at (menjadi 2 (dua) raka’at) dengan 5 (lima) syarat:

  1. Bukan perjalanan maksiat.
  2. Jarak yang ditempuh mencapai 16 farsakh.
  3. Shalat empat raka’at. (shalat maghrib dan subuh tidak bisa di qashar)
  4. Niat qashar saat takbiratul ihram (takbir pertama).
  5. Tidak bermakmum pada orang mukim (ketika shalat berlangsung).

Shalat Jama’
ويجوز للمسافر أن يجمع بين الظهر والعصر في وقت أيهما شاء وبين المغرب والعشاء في وقت أيهما شاء، ويجوز للحاضر في المطر أن يجمع بينهما في وقت الأولى منهما.

Boleh bagi musafir untuk menjama’(mengumpulkan) shalat antara shalat dzuhur dan ashar dalam satu waktu yang mana saja dan antara shalat maghrib dan isya’ di waktu mana saja yang disuka.

Boleh pula orang yang bukan musafir untuk menjamak shalat dalam keadaan hujan dengan syarat melakukannya di waktu yang pertama.

Catatan:
(Diringkas dari al Mu’tamad fil Fiqh as Syafi’i, dan at Taqriirat as Sadiidah)

  • Tidak boleh qashar kecuali jika telah berjalan dan terpisah dari kota asal. Jika seseorang mengadakan perjalanan, lalu dalam perjalanannnya ia melewati daerahnya lagi, maka ia tidak boleh menjamak-qashar, sampai ia keluar lagi dari batas desanya.
  • 16 farsakh kira-kira antara 81 km (di kitab al Amwal, 16 farsakh = 88,704 km).
  • Tujuan perjalanannya jelas, dan bukan untuk maksiat. Orang yang mengejar sapi atau yang lain dan sudah berlari 89 km maka dia tidak memenuhi syarat untuk melakukan qoshor
  • Tidak berniat mukim di tempat tujuan perjalanan tersebut
  • Shalat yang diqoshor adalah sholat ada’ (sholat yang dilakukan pada waktunya) di perjalanan, ataupun sholat qodlo’ (sholat yang dilakukan di luar waktunya) yang terjadi dalam perjalanan, bukan sholat yang ditingalkan di rumah
  • Orang yang meng qoshor tidak boleh bermakmum kepada orang yang mukim (kalau dia bermakmum kepada orang yang mukim, dia wajib menyempurnakan shalatnya), sebaliknya orang mukim boleh bermakmum kepada orang yang mengqoshor.

Menjamak shalat adalah mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu.

Seperti, shalat dzuhur-ashar dan maghrib-isya’.

  1. Melakukan shalat dzuhur-asar diwaktu dzuhur
  2. Melakukan Shalat Maghrib-isya’ diwaktu maghrib Keduanya disebut jamak taqdim.

Sedangkan

  1. Melakukan shalat dzuhur –asar diwaktu shalat Ashar dan
  2. Melakukan shalat maghrib-isya’ diwaktu shalat Isya’ Keduanya disebut jamak ta’khir.

Syarat shalat Jama’ secara umum syarat perjalanannya sama dengan syarat perjalanan yang membolehkan qoshor.

Syarat Jama’ Taqdim:

  1. Berurutan, yakni dzuhur dulu baru asar atau maghrib dulu baru isya.
  2. Berniat jama’ taqdim pada sholat yang pertama (dhuhur atau maghrib). Jadi ketika mau jama’ taqdim dzuhur dengan asar, maka saat takbirotul ihram shalat dzuhur sudah berniat mau menjama’ dengan asar. Boleh juga niat menjama’nya saat sholat yang pertama sebelum shalat pertama tersebut selesai.
  3. Muwalah (berturut-turut/bersambung). Antara sholat yang pertama dan kedua tidak terpisah oleh waktu yang lama, sebagian memberi batas maksimal adalah sekitar kadar waktu shalat dua raka’at yang ringan.
  4. Shalat yang pertama sah. Jika shalat yang pertama batal, maka tidak sah jama’nya.
  5. Dilakukan ketika masih dalam perjalanan. Jika shalat pertama dilakukan, dan pada saat shalat atau ketika selesai shalat, kendaraan sampai di tempat dia mukim, maka shalat jama’nya batal, namun shalat yang pertama tetap sah. Namun jika pas dia mengerjakan shalat yang kedua, dan saat sebelum salam, kendaraannya tiba di tempat dia mukim, maka sah shalat jama’ tersebut, hanya saja jika dia niat mengqashar juga shalat kedua tersebut, ketika sampai tempat mukim dia wajib mengerjakannya secara tamam (sempurna).

Syarat Jama’ Ta’khir:

  1. Niat Jama’ Ta’khir di waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat dzuhur-asar mau dilakukan di waktu asar, maka saat waktu dzuhur dia berniat akan melakukannya (jama’) pada saat asar.
  2. Tetapnya perjalanan hingga selesai melakukan dua sholat tersebut. Jika setelah satu shalat dia sampai di tempat dia mukim, maka shalat yang awal terhitung qodho, bukan jama’.

Dalam jama’ ta’khir tidak wajib muwalah, juga tidak wajib tartib, namun disunnahkan tartib (madzhab Syafi’i)

Adapun jama’ yang dilakukan karena hujan, khusus untuk jama’ taqdim saja.

Wa Allahu A’lam

Mushab bin Umair

Kisah Mushab bin Umair

Masa Muda atau Usia Remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan manisnya dunia

Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak mereka.

Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin orang tua.

Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia.

Ia adalah Mush’ab bin Umair Teladan bagi Pemuda-pemuda Islam

Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat.

Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan Ridha Allah.

Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam Bersemangat menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mendakwahkannya.

Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash Al-Qur’an (hukum hukum syariat),

Pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.

Ada yang menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di Madinah. Ia berkata,

رَجُلٌ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ الجَنَّةِ

“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”

Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya

Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585 M.

Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi.

Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ

“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).

Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makanan sudah ada di hadapannya.

Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.

Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat

Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.

Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.

Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.

Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).

Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).

Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.

Peranan Mush’ab Dalam Islam

Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.

Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.

Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.

Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.

Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.

Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”

Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.

Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).

Wafatnya ketika perang Uhud

Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:

Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah),

lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus.

Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya seraya membaca ayat yang sama:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut.

Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).

Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.

Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur.

Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur.

Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah.

Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau.

Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”

Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah.

Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya.

Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”

Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.

Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair

Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair.

Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273).

Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.

Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya).

Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka.

Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).

Penutup

Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat.

Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.

Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat menuntut ilmu, mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.

Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014.

Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007.

ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah

Keajaiban Sedekah

JEMPUT PERTOLONGAN ALLAH DENGAN SEDEKAH

Mendengar namanya, orang sudah kenal keutamaannya. Sedekah berasal dari As-Shidq, artinya jujur. Seorang muslim yang bersedekah berarti dia membuktikan kejujurannya dalam beragama. 

Betapa tidak, harta yang merupakan bagian yang dia cintai dalam hidupnya, harus dia berikan ke pihak lain. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut sedekah sebagai ‘burhan’ (bukti). 

Dalam hadis dari Abu Malik Al-Asy’ari, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“Shalat adalah cahaya, sedekah merupakan bukti, sabar itu sinar panas, sementara Al-Quran bisa menjadi pembelamu atau sebaliknya, menjadi penuntutmu.” (HR. Muslim 223).

Sedekah disebut ‘burhan’ karena sedekah merupakan bukti kejujuran iman seseorang. Artinya, sedekah dan pemurah identik dengan sifat seorang mukmin, sebaliknya, kikir dan bakhil terhadap apa yang dimiliki identik dengan sifat orang munafik. 

Untuk itulah, setelah Allah menceritakan sifat orang munafik, Allah sambung dengan perintah agar orang yang beriman memperbanyak sedekah. Di surat Al-Munafiqun, Allah berfirman,

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

Infakkanlah sebagian dari apa yang Aku berikan kepada kalian, sebelum kematian mendatangi kalian, kemudian dia meng-iba: “Ya Rab, andai Engkau menunda ajalku sedikit saja, agar aku bisa bersedekah dan aku menjadi orang shaleh.” (QS. Al-Munafiqun: 10).

Untuk itulah, seorang hamba hanya akan mendapatkan hakekat kebaikan dengan bersedekah, memberikan apa yang dia cintai. Allah berfirman,

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian infakkan apa yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

 

Keajaiban Sedekah

1). Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صدقة السر تطفىء غضب الرب

“Sedekah dengan rahasia bisa memadamkan murka Allah” (Shahih At-Targhib, 888)

2).  Dari Ka’b bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والصدقة تطفىء الخطيئة كما يطفىء الماء النار

Sedekah bisa memadamkan dosa, sebagaimana air bisa memadamkan api. (Shahih At-Targhib, 866)

3). Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الصدقة لتطفئ عن أهلها حر القبور وإنما يستظل المؤمن يوم القيامة في ظل صدقته

“Sesungguhnya sedekah akan memadamkan panas kubur bagi pelakunya. Sungguh pada hari kiamat, seorang mukmin akan berlindung di bawah naungan sedekahnya.” (Silsilah As-Shahihah, 3484).

Yazid – salah seorang perawi yang membawakan hadis ini – menceritakan: ‘Dulu si Martsad, setiap kali melakukan satu dosa di hari itu maka dia akan bersedekah dengan apa yang dia miliki, meskipun hanya dengan secuil kue atau bawang.’ (As-Silsilah As-Shahihah, 872).

4). Dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

داووا مرضاكم بالصدقة

“Obati orang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (Shahih At-Targhib, 744).

Ibnu Syaqiq menceritakan, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Ibnul Mubarak – guru Imam Bukhari -: ‘Saya memiliki luka di lutut selama tujuh tahun, sudah coba diobati dengan berbagai macam cara, sudah konsultasi dokter dan tidak ada perubahan.’ Ibnul Mubarak menyarankan, ‘Buatlah sumur di daerah yang membutuhkan air. Saya berharap akan menghasilkan sumber air dan menyumbat darah yang keluar.’ Diapun melakukannya dan sembuh. (Shahih At-Targhib)

5). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ، إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Setiap datang waktu pagi, ada dua malaikat yang turun dan keduanya berdoa. Malaikat pertama memohon kepada Allah, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang memberi nafkah’, sementara malaikat satunya berdoa, ‘Ya Allah, berikan kehancuran bagi orang yang pelit.’ (HR. Bukhari & Muslim).

6). Dari Al-Harits Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang wasiat Nabi Yahya kepada bani israil. Salah satu isi wasiat itu, Nabi Yahya mengatakan,

وآمركم بالصدقة ومثل ذلك كمثل رجل أسره العدو فأوثقوا يده إلى عنقه وقربوه ليضربوا عنقه فجعل يقول هل لكم أن أفدي نفسي منكم وجعل يعطي القليل والكثير حتى فدى نفسه

Aku perintahkan kalian untuk banyak sedekah. Perumpamaan sedekah seperti orang orang yang ditawan oleh musuhnya dan tangannya diikat di lehernya. Ketika mereka hendak dipenggal kepalanya, dia bertanya: ‘Bolehkah aku tebus diriku sehingga tidak kalian bunuh.’ Kemudian dia memberikan yang dimiliki, sedikit atau banya, sampai dia berhasil menebus dirinya. (Shahih At-Targhib, 877).

Betapa luar biasanya pengaruh sedekah. Setiap dosa dan kesalahan yang dilakukan manusia merupakan ancaman baginya. Tumpukan dosa itu cepat atau lambat akan membinasakannya. Namun dia bisa selamat dari ancaman ini dengan memperbanyak sedekah, sampai dia bisa bebas dari neraka.

7). Sedekah sama sekali tida mengurangi harta

Itulah jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidak akan mengurangi harta” (HR. Muslim)

8). Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ذكر لي أن الأعمال تباهي، فتقول الصدقة: أنا أفضلكم

“Diceritakan kepadaku bahwa semua amal akan saling dibanggakan. Kemudia amal sedekah mengatakan: ‘Saya yang paling utama diantara kalian’” (Shahih At-Targhib)

Hadis di atas hanya sebagian riwayat yang menunjukkan keajaiban Sedekah. Masih banyak riwayat lain yang menyebutkan keajaiban Sedekah. Mengingat demikian besar keutamaan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan umatnya untuk mengharapkan kenikmatan yang Allah berikan kepada dua jenis manusia, salah satunya adalah orang yang Allah beri harta, dan dia rajin bersedekah siang dan malam. (HR. Bukhari & Muslim).

Semoga bermanfaat

Allahu a’lam

✔

Pahala Tanpa Batas

MERAIH PAHALA TANPA BATAS

Apa itu Sabar?
Sabar secara bahasa berarti al habsu yaitu menahan diri.

Sedangkan secara syar’i, sabar adalah menahan diri dalam tiga perkara:
(1) Sabar dalam Ketaatan kepada Allah,
(2) Sabar meninggalkan hal-hal yang diharamkan,
(3) Sabar menghadapi takdir Allah (musibah).

Inilah tiga bentuk sabar yang biasa dipaparkan oleh para ulama.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).

Al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.” As-Sudi mengatakan, “Balasan orang yang bersabar adalah surga.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:443)

Dari Shuhaib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Tafsir menurut Ulama

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah.

Wahai muhammad, sampaikanlah sabdaKu ini:

wahai hamba-KU yang mukmin, takutlah kalian akan adzab Allah dengan tetap taat pada-Nya,

bagi mereka yang selalu taat maka di dunia akan mendapatkan kebaikan dan pahala surga di akhirat.

Yakni berupa pahala kebaikan dan kebahagiaan di dunia, dan bumi Allah ini luas,

maka barang siapa kesulitan untuk taat kepada Allah di suatu daerah, maka hendaklah dia hijrah ke daerah lain sekiranya dia bisa beribadah dan menjalankan syariat Allah, meninggalkan kemungkaran, sesungguhnya Allah menepati janji bagi mereka yang bersabar dan pahala bagi mereka tanpa batas dan ketetapan sebelumnya.

Maka pemberian Allah yang luas tak terbatas dan tak terhitung

Penjelasan hadis diatas : “Barangsiapa yang kesulitan untuk Taat kepada Allah di suatu tempat, dikarenakan ada larangan atau kebijakan untuk menjalankan Ketaatan kepada Allah dan meninggalkan bentuk kemaksiatan kepada Allah, maka ia hendaklah berhijrah ke tempat yang lebih baik”

Wa’Allahu a’lam, bishawab

Contoh Sabar dalam kehidupan diantaranya :
✔ Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
(contoh : Sabar dalam berdakwah, Istiqomah dalam menutup dan menjaga aurat secara syar’i apabila di suatu tempat ada larangan bagi seorang wanita untuk menutup aurat, Istiqomah melaksanakan ibadah shalat lima waktu, sabar melaksanakan puasa ramadhan, sabar dalam berbakti kepada orangtua, sabar dalam ketaatan kepada suami bagi seorang istri, sabar menjalankan Amanah)

✔ Sabar dalam menjauhi maksiat
Contoh : Sabar menahan Amarah, sabar dalam mencari Rezeki yang halal dan meninggalkan Rezeki yang haram, sabar mencari pasangan yang halal dan meninggalkan perbuatan zina (zina mata, zina hati dan zina kemaluan), meninggalkan Jual Beli yang didalamnya terdapat dosa Riba.

✔ Sabar dalam menghadapi Musibah (Takdir). 

Contoh : Sabar dan Ridho dalam menghadapi bencana alam, penyakit dan kematian

Keutamaan Wakaf

Berwakaf menjadi ciri khas kaum muslimin. Karena dorongan iman kepada hari akhir.

Bahkan, Imam as-Syafii menyebutkan, bahwa tradisi wakaf belum ada di zaman jahiliyah. Tradisi ini dibangun kaum muslimin.

Di zaman jahiliyah, semua yang diinfakkan untuk umum, para sahabat, sebagai pelopor dalam wakaf.

Dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,

لَـمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِـيِّ صَلّى اللهُ عليهِ وسَلّم ذُو مَقدِرَة إِلّا وَقَفَ

Tidak ada seorangpun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kemampuan, kecuali mereka wakaf. (Ahkam al-Auqaf, Abu Bakr al-Khasshaf, no. 15 dan disebutkan dalam Irwa’ al-Ghalil, 6/29).

Ketika Allah menurunkan firman-Nya,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Abu Thalhah mendengar ayat ini.

Beliaupun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan hajatnya,

 

“Ya Rasulullah, Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai’. Sementara harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha. Ini saya sedekahkan untuk Allah. Saya berharap dapat pahala dan menjadi simpananku di sisi Allah. Silahkan manfaatkan untuk kemaslahatan umat.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut keinginan Abu Thalhah,

بَخْ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّى أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِى الأَقْرَبِينَ

“Luar biasa, itu kekayaan yang untungnya besar… itu harta yang untungnya besar. Saya telah mendengar apa yang anda harapkan. Dan saya menyarankan agar manfaatnya diberikan kepada kerabat dekat.”.

Bairuha, bisa juga dibaca Biraha, merupakan kebun yang berada di depan masjid nabawi. Di masa Muawiyah, dibangun benteng istana di sekitar kebun ini, yang dikenal dengan sebutan, istana Bani Judailah.

Nilainya sangat mahal, dan diwakafkan Abu Thalhah sebagai sedekah harta kesayangannya.

Berwakaf menjadi ciri khas kaum muslimin. Karena dorongan iman kepada hari akhir.

Bahkan, Imam as-Syafii menyebutkan, bahwa tradisi wakaf belum ada di zaman jahiliyah. Tradisi ini dibangun kaum muslimin.

Di zaman jahiliyah, semua yang diinfakkan untuk umum, para sahabat, sebagai pelopor dalam wakaf.

Dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,

لَـمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِـيِّ صَلّى اللهُ عليهِ وسَلّم ذُو مَقدِرَة إِلّا وَقَفَ

 

Tidak ada seorangpun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kemampuan, kecuali mereka wakaf. (Ahkam al-Auqaf, Abu Bakr al-Khasshaf, no. 15 dan disebutkan dalam Irwa’ al-Ghalil, 6/29).

 

Ketika Allah menurunkan firman-Nya,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Abu Thalhah mendengar ayat ini.

Beliaupun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan hajatnya,

“Ya Rasulullah, Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai’. Sementara harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha. Ini saya sedekahkan untuk Allah. Saya berharap dapat pahala dan menjadi simpananku di sisi Allah. Silahkan manfaatkan untuk kemaslahatan umat.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut keinginan Abu Thalhah,

بَخْ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّى أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِى الأَقْرَبِينَ

“Luar biasa, itu kekayaan yang untungnya besar… itu harta yang untungnya besar. Saya telah mendengar apa yang anda harapkan. Dan saya menyarankan agar manfaatnya diberikan kepada kerabat dekat.”

 

Bairuha, bisa juga dibaca Biraha, merupakan kebun yang berada di depan masjid nabawi. Di masa Muawiyah, dibangun benteng istana di sekitar kebun ini, yang dikenal dengan sebutan, istana Bani Judailah.

Nilainya sangat mahal, dan diwakafkan Abu Thalhah sebagai sedekah harta kesayangannya.

Tips bangun shalat Malam

Tips Agar bisa bangun dan shalat Qiyamul Lail
✔ Niat shalat malam karena Allah Ta’ala
✔ Baca Doa sebelum Tidur
✔ Biasakan tidur lebih awal dan tidak larut malam
✔ Dianjurkan berwudhu sebelum tidur

Sebagaimana hadis dari Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا، بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.’”
(HR. Ibn Hibban 3/329. Syuaib Al-Arnauth, Hadis ini juga dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

  • Ketika sulit bangun dan badan terasa berat, ucapkan dengan kalimat Dzikirullah

Sebagaimana hadis dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur.

Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan.

Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan.

Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir.

Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)