Lima Golongan Manusia Terkait Ilmu

Tidak setiap orang menjadi ulama. Akan tetapi, setiap orang akan mendapatkan keberkahan dari para ulama yaitu dengan menimba dan mengambil ilmu dari mereka.

Andaipun tidak, berusaha mengamalkan apa yang mereka sampaikan walau hanya sedikit. Atau setidaknya, jangan pernah membenci ulama.

Ada satu nasihat dari Al-Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahabi, dalam Kitab Al-Kabâir. Beliau berkata:

“Jadilah seorang ‘alim (orang yang berilmu), muta’alim (orang yang menuntut ilmu), mustami’ (orang yang mendengarkan ilmu), atau muhibb (orang yang mencintai ilmu).

Dan, janganlah menjadi orang yang kelima sehingga engkau celaka. Dia adalah orang yang tidak berilmu, tidak mau menuntut ilmu (tidak mau belajar), tidak mendengarkan ilmu, dan tidak pula mencintai orang yang berilmu (ulama).”

Doa Pertobatan

Rabbanâ zhalamnâ annfusanâ wa illam taghfir-lanâ wa tarhamnâ lanakûnanna minal-khâsirîn.

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’râf, 7:23)

Sahabat TasQ, Dari sekian banyak doa, inilah salah satu doa teragung dalam Al-Quran. Doa ini diucapkan oleh Nabi Adam as. dan istrinya sebagai bentuk pertobatan kepada Allah Ta’ala.

Redaksi doa ini menunjukkan bahwa sekecil apa pun dosa akan berakibat pada hadirnya balasan atau hukuman, kecuali kalau Allah Ta’ala mengampuni.

Maka, siapapun yang terjatuh ke dalam dosa dan maksiat, kemudian mengakui kesalahan, meminta ampunan, menyesalinya dan berhenti melakukan dosa, niscaya Allah Ta’ala akan memilihnya dan memberinya petunjuk sebagaimana Adam.

Sebaliknya, siapa yang ketika terjatuh ke dalam dosa, kemudian berputus asa dan semakin bertambah dosanya, niscaya dia serupa dengan Iblis; dia semakin jauh dari Allah. (Tafsir Hidayatul Insan, 2:7)

Wibawa Seorang Ulama

Al-Hafizh Ibnu Al-Jauzi, dalam Shifatush Shafwah, 3/361 berkisah tentang sosok ahli ilmu sekaligus ulama zuhud yang sangat dicintai umat, Hammad bin Salamah bin Dinar namanya.

Kala itu, Muhammad bin Sulaiman, Gubernur Basrah (Iraq) yang sangat berpengaruh pada masa awal Dinasti Abbasiyah, mendatangi kediaman Hammad.

Sang Gubernur, yang kala itu sebutan namanya saja sudah cukup menggetarkan banyak orang, mengucapkan salam dan duduk di hadapan Hammad. Dia pun berkata dengan suara pelan.

“Jika aku memandang wajahmu, mengapa hatiku takut?”

Hammad pun berkata, “Aku mendengar Tsabit Al-Banani berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

‘Sesungguhnya, seorang ulama apabila dia menjadikan ilmunya untuk (menggapai) ridha Allah (wajhullâh), niscaya segala sesuatu akan takut kepadanya.

Namun, apabila dia menjadikan ilmunya untuk menumpuk harta (atau meraih aneka kenikmatan dunia), niscaya dia akan takut kepada segala sesuatu’.”

Efek Jaminan Keamanan bagi Umat Rasulullah SAW

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya, Allah Ta’ala menurunkan untuk umatku dua jaminan keamanan.”

Beliau kemudian membacakan ayat, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan engkau (wahai Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun (beristighfar).” (QS Al-Anfâl, 8:33)

Maka, sambung Rasulullah saw., “Jika aku sudah tiada, aku telah meninggalkan istighfar di tengah-tengah mereka sampai hari Kiamat.” (HR At-Tirmidzi)

Berdasarkan hadits yang mulia ini, ada dua jaminan keamanan yang Allah Ta’ala turunkan kepada orang-orang beriman, yaitu Rasulullah saw. dan istighfar.

Maka, agar hidup kita terjamin, hadirkanlah Rasulullah saw. dalam keseharian kita, yaitu dengan membanyak shalawat kepadanya, menjaga dan menghidupkan sunnahnya, serta memperbanyak istighfar (memohon ampunan) kepada-Nya. Sungguh, inilah dua kunci keselamatan sekaligus kebahagiaan seorang Muslim.

Apakah Saat di Mekkah Nabi SAW Berpuasa Asyura

Hari Asyura termasuk salah satu hari hari mulia dalam setahun. Para nabi sebelum Rasulullah saw. memuliakan dan mensucikannya. Nabi Nuh as. dan Nabi Musa as. misalnya, mereka memuliakan hari Asyura dengan menunaikan puasa di dalamnya.

Bagaimana dengan Rasulullah saw.? Sebagaimana para nabi lainnya, beliau pun memuliakan hari Asyura dengan berpuasa di dalamnya. Bahkan, beliau telah menunaikannya sejak sebelum hijrah ke Madinah.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ‘Aisyah ra. berkata:

“Dahulu (hari) Asyura adalah hari di mana orang-orang Quraisy berpuasa pada masa jahiliyah dan Nabi saw. pun berpuasa pada hari itu. Lalu ketika Nabi saw. tiba di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Lalu setelah kewajiban puasa Ramadhan telah turun, maka puasa bulan Ramadhan itulah yang beliau lakukan … ” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Efek Dahsyat Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW

Siapa menginginkan kebaikan, kesuksesan, kejayaan dan keberkahan dalam hidupnya, wajib baginya untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw. sekemampuan diri mengikutinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap orang yang mengikuti Rasulullah saw. (mewajibkan dirinya untuk berkomitmen dengan adab-adab sunnah), niscaya Allah akan mencukupinya, memberinya petunjuk, menolongnya dan memberinya rezeki.” (Al-Qâ’idah Al-Jalîlah, 1/160)

Ketika seseorang berkomitmen pada sunnah Rasulullah saw. niscaya Allah Azza wa Jalla akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifah (pengetahuan).

Tidak ada kedudukan yang lebih mulia daripada mengikuti Rasulullah saw. dalam beragam perintah, perbuatan dan akhlaknya. Demikian Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menerangkan (Madârijus Sâlikîn, 2/644)

Bacalah Mushaf ! Ada Keberkahan di Dalamnya

Ingin tahu bermasalah tidaknya hati kita? Ingin tahu berpenyakit tidaknya qalbu kita? Ingin tahu kotor tidaknya sanubari kita? Jadikan bacaan Al-Quran sebagai ukuran.

Hati tengah bermasalah manakala tangan terasa kaku untuk membuka mushaf. Lisan seakan kelu untuk membaca Al-Quran. Tubuh pun amat malas saat diajak duduk bertilawah.

Ada satu nasihat dari Utsman bin Affan ra. yang bisa kita jadikan pegangan.

Dia berkata, “Seandainya hati kita bersih, niscaya kita tidak akan puas membaca Kalamullah (Al-Quran).” (Ighatsatul Lahfan, 1/64)