Guru Tiga Generasi

Dikisahkan, ada seorang ulama besar di Damaskus, Suriah, yang telah mengajar tiga generasi. Ketika bertemu seseorang di jalan, dia berkata, “Anakku, engkau adalah muridku, ayahmu adalah muridku, dan kakekmu juga muridku.”

Ulama ini mulai mengajar sejak usia 18 tahun dan meninggal pada usia 98 tahun! Tubuhnya tegak, matanya tajam, telinganya sangat peka, dan Allah Ta’ala memuliakannya dengan memberi seorang istri yang juga berusia panjang.

Suatu saat dia ditanya, “Tuan, apa rahasianya sehingga Anda tetap sehat dalam usia selanjut ini?”

Dia menjawab, “Kami menjaganya sewaktu muda, kemudian Allah menjaganya ketika kami sudah tua.”

Seperti itulah, siapapun yang hidup dalam ketakwaan, dia akan hidup dalam kekuatan. Maka, apabila ingin mulia di sisi Allah Ta’ala, bertakwalah kepada-Nya. Apabila ingin menjadi manusia kuat, bertawakkallah kepada-Nya. Apabila ingin menjadi manusia kaya, utamakan apapun yang ada di sisi Allah daripada apapun yang ada di tangan kita.

Prof. Dr. Muhammad Ratib Al-Nablusi, Mausû’ah Asmâ’illâh Al-Husnâ (Terjemah: Mengenal Allah), hlm. 352.

Apa Postingan Terakhir Anda

Berhati-hatilah saat membuat status atau postingan di medsos, baik berupa tulisan, imej atau video.

Selain nilai pahala atau dosanya telah tercatat dalam kitab catatan amal. Boleh jadi, itulah status kita yang terakhir yang akan dikenang oleh keluarga, karib kerabat, dan dibagikan oleh teman dan orang-orang di sekitar kita.

Beruntunglah orang yang postingan terakhirnya berisi kebaikan atau sesuatu yang bisa mengingatkan orang kepada Allah.

Namun, merugilah orang yang postingannya berisi keburukan, maksiat, kebencian, dan beragam hal yang mengotori hati dan pikiran. Kita (sebagai penulisnya) sudah meninggal, akan tetapi efek buruknya senantiasa kekal.

Maka, jangan memposting sesuatu, kecuali yang baik-baik. Bukankah dalam perkataan, tulisan, atau postingan tergambar kualitas diri kita?

Bukankah dalam setiap perkataan, tulisan, atau postingan ada perhitungan dan hisabnya yang harus kita pertanggungjawabkan?

Orang yang Paling Merugi

Di antara orang yang merugi adalah dia yang sibuk mengumpulkan amal kebaikan, entah melalui sedekah, shalat, tilawah, shaum, dan lainnya.

Namun, setelah pahala terkumpul, dia membagikannya secara cuma-cuma kepada orang lain sampai saldo pahalanya berkurang drastis, bahkan habis.

Bagaimana bisa?

Ghibahlah jawabannya. Gosiplah penyebabnya. Saat berghibah, saat itu pula kita mentransfer pahala kepada orang yang dighibahi. Jika kita tidak lagi pula saldo pahala, keburukan orang yang dighibahi ditransfer ke rekening kita. Rugi bukan?

Ada satu perkataan dari Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah:

“Andai bukan karena benci maksiat kepada Allah, (niscaya aku akan lakukan maksiat). Dan sungguh, aku berangan-angan andai semua penduduk kota ini mengghibahku (menggosipkanku).

Tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan melebihi orang yang melihat pahala yang tertulis di catatan amalnya, sementara dia tidak pernah mengamalkannya.”

(HR Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 5/305)

Ampunan Allah sebagai Cita-Cita Tertinggi

Apa cita-cita Anda, saya, dan kita semua di dunia? Ada beragam pastinya. Namun, bagi orang yang mengenal Allah, tiada yang paling dicita-citakan olehnya kecuali dia bisa mendapatkan ampunan dari Allah Al-Ghaffar, terkhusus di akhir kehidupannya.

Ada apa dengan ampunan Allah?

Sesungguhnya, ampunan Allah adalah pembuka semua kebaikan di dunia dan di akhirat. Ampunan Allah adalah gerbang solusi, sumber ketenangan hati, sekaligus jalan tol diraihnya rezeki.

Ada satu nasihat dari Yahya bin Mu’adz yang layak untuk kita jadikan target kehidupan. Beliau berkata, “Bukan orang yang mengenal Allah, orang yang tidak menjadikan ampunan rabbnya sebagai harapannya yang tertinggi.” (Shifatush Shafwah)

Bahaya dari Makan Terlalu Banyak

Berhati-hatilah dari terlalu banyak makan sehingga kekenyangan. Sesungguhnya, terlalu kenyang adalah salah satu pintu bagi setan untuk mengikat manusia sehingga mereka terlalaikan dari ketaatan kepada-Nya.

Al-Hafizh Ibnul Jauzi, dalam kitab Talbis Iblis, menukilkan sebuah riwayat dari Tsabit Al-Banani rahimahullâh. Dia mengatakan bahwa Iblis pernah muncul di hadapan Nabi Zakaria bin Yahya as. Beliau melihat banyak barang yang menggantung pada diri Iblis.

Nabi Yahya pun bertanya, “Hai Iblis, apakah barang-barang yang menggantung pada dirimu itu?”

Iblis menjawab, “Ini adalah nafsu-nafsu yang aku pergunakan untuk mengail anak Adam.”

Nabi Yahya bertanya kembali, “Apakah ada yang ditujukan kepadaku?”

Iblis menjawab, “Boleh jadi perutmu kenyang, sehingga aku akan membuatmu merasa berat untuk melaksanakan shalat dan zikir (kepada Allah).”

“Adakah selain itu?” tanya Nabi Yahya.

Iblis menjawab, “Tidak ada, demi Allah.”

Yahya berkata, “Demi Allah, selamanya aku tidak akan membuat perutku kenyang karena makanan.”

Iblis pun berkata, “Demi Allah, aku sama sekali tidak akan lagi memberi nasihat kepada orang Muslim.”

Istighfar sebagai Solusi

Jangan sepelekan istighfar. Dia bukan sekadar tanda penghambaan dan kelemahan diri di hadapan Ilahi. Istighfar pun adalah kunci pembuka pintu-pintu solusi atas aneka masalah yang kita hadapi.

Cukuplah janji Rasulullah saw. sebagai bukti. Beliau bersabda:

“Siapa yang melazimkan istighfar, niscaya Allah Ta’ala akan membebaskannya dari segala kesusahan dan kesedihan, serta melapangkannya dari setiap kesempitan, dan akan mengaruniakan kepadanya rezeki dari jalan yang tidak terduga.” (HR Abu Dawud)

Maka, tidak mengherankan apabila Ibnu Taimiyah sampai berkata, “Kapan pun aku mendapati masalah yang tidak bisa aku tangani, aku beristighfar ribuan kali sampai sehingga dadaku terasa lapang dan Allah hilangkan semua masalah yang aku hadapi.”