Bencana Karena Omongan

Jagalah lisan kita dari mencela, mencemooh atau merendahkan orang lain atas kesalahan atau aib yang dimilikinya. Karena boleh jadi, apa yang kita omongkan akan kembali kepada kita sebagai pembuatnya.

Dalam bukunya yang berjudul Ushûl Al-Wushûl ilâ Allâh Ta’âlâ, Muhammad Husayn Ya’qub, menukilkan satu kisah menarik.

Satu kali, Al-Kissâ’i dan Al-Yazidi, berkumpul di istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Saat tiba waktu shalat Maghrib, Al-Kissâ’i (seorang ahli qira’at terkenal) diminta untuk menjadi imam.

Di tengah shalat, tiba-tiba dia gemetar dan melakukan kesalahan saat membaca surat Al-Kâfirûn.

Setelah shalat usia, Al-Yazidi berkomentar, “Bagaimana mungkin seorang pakar qiraat dan imam Kufah sepertimu gemetar dan lupa saat membaca surat Al-Kâfirûn?”

Saat tiba shalat Isya, Al-Yazidi mendapat giliran untuk menjadi imam. Ternyata, dia pun melakukan kesalahan justru saat membaca surat Al-Fâtihah. Maka, seusai shalat Al-Kissâ’i menyindirnya lewat sebuah syair.

“Jagalah lisanmu. Jangan sampai dirimu termakan omonganmu sendiri. Sesungguhnya, bencana datang karena ucapan yang tidak terkendali.”

Saat Kemarahan Menjadi Pilihan

Membina rumahtangga perlu ilmu dan kesabaran. Mengurus anak pun perlu ilmu dan kesabaran. Tanpa ilmu dan kesabaran, masalah kecil bisa menjadi besar; kebaikan menjadi keburukan; peluang pahala pun malah menjadi dosa.

Maka, siapapun yang berani berkeluarga dan menjadi orangtua, wajib baginya meningkatkan kualitas keilmuan dan kesabarannya. Setiap kali bertambah usia, bertambah amanah, bertambah anak, setiap kali itu pula kita wajib menambah ilmu dan stok kesabaran. Tanpa keduanya, alih-alih bahagia, hidup berumahtangga malah mendatangkan derita.

Apa ciri rumahtangga yang miskin ilmu? Setiap masalah diselesaikan dengan kemarahan dan keputusasaan. Mengapa marah, mengapa putus asa? Karena itulah cara termudah untuk keluar dari masalah. Orang menjadi marah dan putus asa karena dia tidak punya solusi lain selain cara itu.

Tiga Kewajiban Orang Beriman kepada Saudaranya

Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak layak dia menimpakan kesusahan, kesedihan dan kemudharatan kepada saudaranya. Andaipun ada salah, bersegeralah untuk meminta maaf.

Andai ada hak-haknya yang diambil, bersegeralah untuk mengembalikannya atau meminta keridhaannya. Andai bisa memberinya kebaikan, mengapa pula harus menimpakan keburukan kepadanya?

Maka, ada satu nasihat berharga dari seorang Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullâh:

“Agar dirimu termasuk orang yang ihsan, penuhilah olehmu tiga kewajiban kepada saudara Mukminmu. Pertama, kalau tidak bisa memberinya manfaat, jangan menimpakan mudharat kepadanya. Kedua, kalau tidak bisa membuatnya gembira, jangan membuatnya sedih. Ketiga, kalau tidak bisa memujinya, janganlah engkau mencelanya.”

Peninggi Derajat di Surga

Jangan sepelekan amal ibadah di hadapan Allah Azza wa Jalla sekecil dan sesederhana apapun. Karena boleh jadi, kesungguhan, keikhlasan dan keistiqamahan seseorang kala menunaikannya tidak hanya menjadi wasilah yang akan memasukkannya ke dalam surga. Akan tetapi, akan meninggikan pula derajatnya di sana.

Ubaid bin Khalid As-Silmi ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mempersaudarakan dua orang lelaki. Kemudian, salah satunya meninggal karena terbunuh dan yang satunya lagi meninggal pada Jumat berikutnya atau sekitaran waktu itu (meninggal sepekan kemudian). Maka, para sahabat menshalatkannya.

Rasulullah ﷺ lalu bertanya, “Apa yang kalian baca (untuk kedua orang itu)?” Para sahabat menjawab, “Kami berdoa untuknya. Dan, kami membaca, ‘Ya Allah, ampunilah dia dan pertemukanlah dia dengan saudaranya’.”

Beliau kemudian bertanya lagi, “Manakah di antara kedua orang itu yang paling bagus shalatnya, puasanya, dan amal-amalnya? Sungguh, perbedaan di antara keduanya bagaikan jarak antara langit dan bumi” … (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ath-Thayalisi)

Istirahatlah Diri dengan Memperbanyak Sujud

Tidak ada saat-saat paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya selain saat dia bersujud dalam shalat. Inilah momen paling indah baginya.

Bagaimana tidak, dirinya yang lemah, hina dina, lagi tidak punya apa-apa, diizinkan untuk hadir di hadapan Zat Pemilik segala kesempurnaan untuk mendapatkan beragam karunia dari-Nya.

Itulah mengapa, manakala seorang hamba sudah pulang ke negeri akhirat, tidak ada ingatan yang paling berkesan baginya selain saat tengah bersujud kepada Allah kala di dunia.

Ketika Hafalan Al-Quran Menentuka Tingkatan Surga

Beruntunglah para penjaga Al-Quran. Di dunia hidupnya diberkahi. Di akhirat hidupnya dimuliakan. Allah hadirkan surga tertinggi untuknya. Bahkan, derajatnya di surga disesuaikan dengan jumlah hapalan yang dimilikinya.

Dari Abdullah bin ‘Amr ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Akan dikatakan kepada seorang pembaca (penghapal) Al-Quran ketika dia akan memasuki surga, ‘Bacalah dan naiklah serta tarlillah sebagaimana engkau di dunia mentartilkannya! Karena derajatmu (di surga) adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal)’.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Maka, terkait hal ini, ‘Aisyah ra. mengatakan, “Sesungguhnya jumlah tingkatan surga adalah sejumlah bilangan ayat-ayat Al-Quran. Maka, siapa yang masuk surga dari kalangan para penghapal Al-Quran, niscaya tidak ada orang yang melebihi (tingkatannya) di surga.” (HR Ahmad, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)

Di Antara Mutiara Kesalihan

Tabiat manusia itu ingin diperhatikan oleh sesamanya apalagi saat dia tengah berada dalam kesusahan. Mengeliminasi hal ini dari hati, untuk lebih fokus pada perhatian Ilahi, dengan demikian, bukan pekerjaan mudah.

Ada ego yang harus dikalahkan. Ada dorongan hati yang harus dialihkan, dan ada keimanan yang mengalahkan kecenderungan untuk meraih kenikmatan dari selain-Nya. Termasuk di dalamnya adalah menjaga lisan dari berkeluh kesah kepada selain Allah.

Maka, ada kata-kata penuh mana dari Abu Ismail Al-Harawi, “Di antara mutiara kesalehan adalah merahasiakan kesusahan sehingga orang lain tidak tahu bahwa kita tengah mengalami kesusahan (kesedihan atau penderitaan).” (Tasliyatu Ali Al-Masa’ib, Muhammad Al-Manjabi)

#tausiyah #ngaji #hijrah #muslim #muslimah #yayasantasdiqulquran #pesantren #dakwah #kajian