Keras Hati Perbanyaklah Mengingat Mati

Terlalu banyak bergaul untuk urusan duniawi, sibuk mengejar karier, terobsesi dengan makanan (kuliner), memperturutkan aneka hobi yang kurang bermanfaat, dan sejenisnya, berpotensi mengeraskan hati.

Ketika hati sudah keras, pemiliknya tidak lagi sensitif terhadap dosa, malas beribadah dan hilang kenikmatan saat beribadah, nasihat kebaikan pun menjadi tidak nyaman didengar.

Apa solusinya? Al-Imam Al-Qurthubi, dalam At-Tadzkirah, menyebutkan empat cara untuk mengobati hati yang keras. Salah satunya adalah banyak mengingat mati. Sesungguhnya, banyak mengingat mati akan mencegah seseorang dari kemaksiatan, melunakan hati, menghilangkan cinta dunia dan meringankan derita atas musibah dunia.

Diriwayatkan dari Shafiyyah ra. bahwasanya seorang wanita mendatangi ‘Aisyah ra. untuk mengadukan keadaan hatinya yang keras.

‘Aisyah ra. pun berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian, engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan.”

Kemudian wanita ini mengerjakannya (apa yang disarankan oleh ‘Aisyah). Setelah itu, dia pun mendapatkan petunjuk di hatinya dan mendatangi ‘Aisyah ra. untuk mengucapkan terima kasih (HR Ibnu Abi Ad-Dunya)

Sebaik-baik Persangkaan Baik

Berprasangka baik (husnuzhan) itu baik, sangat utama, lagi dianjurkan. Namun, tidak ada sebaik-baik persangkaan baik kecuali berprasangka baik kepada Allah menjelang kematian. Siapa mampu melakukannya, niscaya Allah Ta’ala akan memberikan apa yang dipersangkakannya itu tanpa meleset.

Maka, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah ada seorang pun di antara kalian yang mati kecuali dia (ada dalam keadaan) berbaik sangka kepada Allah.” (HR Muslim, No. 2887)

Anas bin Malik ra. mengisahkan bahwa Nabi saw. pernah menemui seorang pemuda menjelang ajalnya. Beliau bertanya, “Apa yang engkau rasakan?”

Pemuda ini menjawab, “Aku mengharap (rahmat) Allah wahai Rasulullah. Namun, aku pun takut akan dosa-dosaku.”

Maka, Nabi saw. pun bersabda, “Tidaklah berkumpul (kedua perasaan itu) dalam hati seorang Mukmin dalam keadaan seperti ini (sakaratul maut), melainkan Allah memberikan apa yang dia harapkan dan mengamankannya dari apa yang dia takutkan.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Abid Dunya)

Sisi Lain dari Musiabah

Di antara tabiat manusia adalah suka dengan kenikmatan dan tidak suka dengan penderitaan. Maka, sepanjang hidupnya dia berusaha mengejar aneka kenikmatan, entah yang bersifat fisik maupun non fisik. Pada saat bersamaan, dia berusaha menjadi aneka penderitaan, kesusahan dan ketidakenakan.

Salah satu hal yang tidak mengenakkan adalah musibah, baik berupa sakit atau lainnya. Andaikan mendapati musibah ini, manusia akan berusaha mengobati atau menghilangkan dari dirinya secepat mungkin.

Namun demikian, ada sisi lain dari musibah, semenyakitkan apapun yang hakikatnya hanya bisa dipahami oleh orang-orang beriman. Apakah itu? Musibah adalah penggugur dosa apabila disikapi dengan kesabaran.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang Muslim ditimpa musibah berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah Taala akan menghapuskan aneka keburukan dengan musibah itu sebagaimana bergugurannya dedaunan dari pohon.” (HR Muslim)

Sudahkah Anda Ridha dengan Ketetapan Allah ?

Mengapa banyak orangtua gagal menghentikan kebiasaan buruk anak-anaknya? Padahal, nasihat sudah diberikan dan aturan sudah dibuatkan.

Di antara sebabnya adalah (1) anak tidak dipahamkan bahwa apa yang dilakukannya adalah keburukan. Sehingga, anak tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah keburukan atau sesuatu yang merugikan bagi diri dan orang disekitarnya.

Kemudian, (2) orangtua tidak konsisten dengan apa yang diucapkan. Sekarang mengatakan A, besok B, seminggu kemudian C. Hal ini menjadi anak tidak memiliki standar nilai yang baku. Katanya tidak boleh, kok sekarang boleh.

Selanjutnya, (2) orangtua tidak tegas (bukan keras) dalam menerapkan aturan. Dan, (3) orangtua belum bisa menjadi teladan dalam kebaikan yang diinginkan.

Misal, ada aturan kalau sejak Maghrib anak tidak boleh pegang hape. Pada pratiknya larangan tersebut hanya terapkan sehari dua hari, besok lusanya lain lagi. Anak malah dibiarkan kembali main hape pada malam hari.

Andaipun ditegur, teguran hanya sekadar ucapan dan tidak dengan tindakan tegas, semisal memberikan sangsi. Sehingga, anak pun akan sampai pada kesimpulan bahwa aturan dibuat untuk dilanggar.

Dan, yang paling berbahaya adalah manakala orangtua tidak bisa menjadi contoh atau teladan dalam kebaikan yang diinginkan. Orangtua melarang anak main hape saat malam hari, tapi dia sendiri tidak bisa lepas dari hape.

Jangan Sampai Kalah dalam Dua Perkara

Boleh saja orang menggunguli kita dalam hal harta, gelar, jabatan, popularitas dan urusan duniawi lainnya. Namun, jangan sampai kita kalah dalam dua hal. Pertama, perhatian kepada Al-Quran dan pengamalan isinya. Kedua, perhatian kepada shalat dan kesempurnaan pelaksanaannya.

Mengapa demikian? Al-Quran adalah buku panduan kehidupan, penuntun kepada jalan kebenaran dan kenci kebahagiaan. Manakala kita tidak mencintainya lagi mengamalkan isinya, kesusahan yang kita rasakan dan ketersesatan yang kita dapatkan.

Adapun shalat, dialah perisai, penjaga, kunci keberkahan dan keselamatan hidup dunia akhirat. Shalat adalah tiangnya Islam. Manakala tiangnya bermasalah, bermasalah pula kualitas keberagaan kita.

Inilah Pembeda Antara Sahabat dengan Kita

Apa yang membedakan para sahabat Nabi saw. dengan kita dalam hal amal-amal yang dilakukan? Ada satu hal esensial yang membedakan antara amalan kita dengan mereka.

Dalam Al-Dâ’ wa Al-Dawâ’, Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan:

“Siapa mencermati keadaan para sahabat, niscaya dia akan melihat bagaimana kesungguhan mereka dalam menunaikan amal-amal paling utama disertai dengan perasaan takut (khauf) yang mendalam.

Adapun kita berada di antara sikap kurang serius dalam beramal (bahkan meninggalkan amal) sedangkan hati merasa aman (jauh dari rasa takut kepada Allah).”

Bekerja Fii Sabilillah

Jihad bukan sekadar berperang di jalan Allah. Mencari nafkah pun, apabila niatnya lurus dan caranya benar, nilainya Allah sejajarkan dengan jihad fi sabilillâh.

Cukuplah kisah dari Ka’ab bin Ajrah ra. sebagai bukti. Suatu ketika lewatlah seseorang di hadapan Rasulullah saw. dan para sahabat. Sahabat tampak keheranan melihat hasil kerja keras yang tampak dari kulit dan semangat orang ini.

Maka, mereka pun bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, apakah (bekerja) itu termasuk jihad fi sabilillâh?”

Rasulullah saw. menjawab, “Jika dia keluar dari rumahnya demi mencari nafkah bagi anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah (fî sabilillâh). Jika dia keluar dari rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhan kedua orangtuanya yang sudah tua, dia di jalan Allah.

Dan, jika dia keluar dari rumah untuk memenuhi kebutuhan dirinya sehingga kehormatannya terjaga, dia di jalan Allah. Namun, jika dia keluar untuk pamer dan takabur, dia berada di jalan setan.” (HR Ath-Thabrani, Al-Jâmi’ush Shagir, No. 2669)