Cinta Rasullullah SAW kepada Cucunya

Amat besar rasa cinta Rasulullah saw. kepada putra-putri dan cucu-cucunya, demikian pula kepada putra-putri para sahabat lainnya. Tidaklah beliau bertemu mereka, kecuali kasih sayang yang beliau tunjukkan.

Salah satunya adalah saat bertemu cucu kesayangannya, Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Saat itu, beliau menggendongnya, menciumnya dan mendoakan kebaikan baginya. Beliau berkata:

“Husain adalah dariku dan aku adalah dari Husain. Semoga Allah mencintai siapapun yang mencintai Husain. Sesungguhnya, Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

Terkait sabda Nabi saw. ini, Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury menjelaskan:

“Husain adalah dariku dan aku adalah dari Husain” maksudnya adalah, mereka berdua saling terhubung sedemikian rupa sehingga yang satu adalah bagian dari yang lain.

“Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain” maksudnya adalah dalam berbuat kebaikan. Atau, berarti pula bahwa keturunan Husain akan membentuk suku-suku. Hal ini menjadi rujukan bahwa keturunan banyak dan akan bertahan sehingga mereka masih ada sampai saat ini. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 178/10)

Syaikh Shalih Al-Munajjid, Seni Interaksi Rasulullah saw.
[24/1 06.37] Eman Tasdikiya: *Caption DAPA*

Saat kita mengulurkan bantuan kepada sesama, sejatinya, yang paling diuntungkan dengan hadirnya bantuan, infaq atau sedekah tersebut adalah kita yang memberi bukan mereka yang menerima.
Bagaimana bisa?

Terkait hal ini, ada penjelasan yang sangat tepat dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Beliau bertutur:

“Tentu saja, pengemis (fakir miskin, anak yatim, atau orang-orang yang kelaparan lagi membutuhkan bantuan), adalah anugerah dari Allah Azza wa Jalla. Sebab, dia mengambil sedikit bagian dari duniamu agar engkau mendapatkan bagian yang lebih besar di akhirat!

Dia menyimpankan untukmu sesuatu yang kelak akan kau temukan di akhirat, pada hari ketika engkau teramat membutuhkannya.

Memang, apa yang engkau berikan akan musnah dan hilang, akan tetapi sedekahmu kepadanya akan dilipatgandakan beberapa tingkatan di sisi Allah Ta’ala.”

Al-Jailani, Purification of the Mind (Jilâ’ Al-Khâthir), dalam Sura

Apapun Masalahnya Allah-lah Pemilik Solusinya

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali ada obatnya. Tidaklah Allah menghadirkan masalah, musibah, atau ujian hidup kecuali ada solusinya.

Maka, saat sakit, tugas kita adalah berobat dengan cara yang dibenarkan. Saat didera masalah, tugas kita adalah mencari solusi dengan cara yang dibenarkan pula.

Tentu saja, dalam prosesnya dari awal sampai akhir, keterikatan kita kepada Allah jangan sampai terlepas. Dengan cara inilah, semua yang kita alami bisa menjadi pengangkat derajat di sisi-Nya. In syâ Allah.

Cukuplah janji Rasulullah saw. sebagai penghibur diri, “Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kekhawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Paman Pendukung VS Paman Penghalang

Secara nasab, Rasulullah saw. memiliki sembilan orang paman laki-laki. Mereka adalah saudara seayah dari Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahanda Nabi saw.

Namun, dari 10 anak lelaki Abdul Muthalib, hanya ada 4 orang yang masih hidup saat Muhammad saw. diangkat menjadi nabi.

Mereka adalah Abu Thalib, Abdul Uzza (Abu Lahab), Al-Abbas dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Sebelum diangkat menjadi Nabi saw. mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai lagi membanggakan Muhammad saw.
Namun, saat beliau mendakwahkan Islam, sikap mereka pun terbelah. Ada yang mendukung. Ada yang menentang, bahkan memusuhi.

Al-Abbas dan Hamzah masuk Islam dan turut membantu dakwah Rasulullah saw.

Abu Thalib mendukung dan membela dakwah Nabi saw. tetapi dia tidak masuk Islam.

Abu Lahab menjadi pembenci sekaligus penentang terbesar dakwah Nabi saw.

Maka, kedekatan nasab bukan jaminan datangnya hidayah. Terbukanya hati pada kebenaran, hilangnya iri dengki dan kesombongan, itulah kunci datangnya hidayah dan pertolongan Allah.

Balasan Terbaik untuk Seorang Khadijah

Wanita hebat ini bernama Khadijah binti Khuwailid ra. Allah Ta’ala memilihnya untuk menjadi pendamping manusia terbaik di muka bumi, yaitu Muhammad Rasulullah saw.

Dan, tahukah Anda bahwa Khadijah tidak menikah dengan Rasulullah saw. untuk bersenang-senang. Hari-hari Khadijah, terlebih setelah masa kenabian, adalah hari-hari yang berat, penuh kesibukan, penuh ujian, cacian, tekanan batin, dan aneka kesusahan. Semua yang dimilikinya dinafkahkan di jalan Allah bersama sang suami.

Lalu, apa yang dia dapatkan dari semua pengorbanannya? Cukuplah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. sebagai hujjah. Dia mengatakan bahwa Malaikat Jibril as. mendatangi Nabi saw. dan berkata:

“Sampaikan salam kepada Khadijah dari Allah dan dari aku. Beri tahukan kepadanya bahwa baginya sudah disediakan rumah di surga yang terbuat dari batu bata permata yang tidak ada keributan dan rasa lelah (di dalamnya).” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya, buah dari semua kesusahan dalam menapaki jalan ketaatan di dunia, sejatinya hanya akan didapatkan nanti di surga. Di sanalah orang-orang beriman akan mendapati ketenangan dan tiadanya keletihan yang hakiki.

Maka, bagi orang beriman, hidup adalah perjuangan. Istirahat terbaiknya adalah kelak saat berada di surganya Allah.

Tips Menenangkan Diri Ketika Sedang Marah

Sebelum sampai di surga akhirat (in syâ Allah), sebenarnya kita sudah bisa mengusahakan hadirnya surga sejak di dunia, yaitu dengan mencontoh karakter para penghuni surga.

Salah satunya adalah dengan menjauhkan kata-kata kasar, sia-sia, jorok, dan semisalnya di tengah keluarga kita. Pada saat bersamaan, kita bisa membudayakan kata-kata yang penuh kebaikan.

Maka, di antara ciri dari rumahku surgaku adalah: tiada dusta dan perkataan sia-sia, kotor, kasar lagi penuh cela.

Hal ini sesuai dengan gambaran Al-Quran tentang surga, “Di dalamnya (di surga) mereka tidak mendengar perkataan sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (QS An-Naba’, 78:35)

Adab Memakai Sepatu atau Kaus Kaki

Ada sunnah Rasulullah saw. saat kita memakai sepatu atau kaus kaki, yaitu kita melakukannya sambil duduk. Dari Jabil bin Abdullah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. melarang seseorang mengenakan alas kaki (sepatu) sambil berdiri. (HR At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, No. 719)

Mengapa demikian?

“Memakai sepatu sambil duduk lebih mudah dilakukan. Adapun mengenakannya sambil berdiri dapat membuat seseorang terjatuh. Maka, perintah untuk memakai alas kaki sambil duduk dan dengan pertolongan tangan, agar aman dari hal-hal yang menyusahkan.” (Al-Khattabi, Ma’alimus Sunan, 4/203)

Cara Paling Efektif untuk Mengajari Anak

Satu ketika, Rasulullah saw. berjalan melewati seorang anak yang tengah menguliti kambing. Namun, dia tidak melakukannya dengan benar. Rasulullah saw. pun bersabda kepadanya:

“Minggirlah, aku perlihatkan caranya!”

Beliau lalu memasukan tangannya di antara kulit dan daging (kambing tersebut), kemudian menekannya sehingga masuk sampai batas ketiak. Setelah itu, beliau pergi untuk mengimami shalat dengan tanpa berwudhu. (HR Abu Dawud dari Abu Sa’id Al-Khudri ra.)

Para pengajar dan orangtua hendaklah memiliki slogan dalam berinteraksi dengan anak-anak mereka, yaitu (sebagaimana disabdakan Nabi saw.) tanahha hatta uriyaka (minggirlah, biar aku perlihatkan caranya).

Cara seperti ini, pengajaran dengan contoh dan praktik langsung, akan lebih mengundang pengetahuan yang benar, amalan yang terarah dan cara yang benar dalam kegiatan mendidik dan mengarahkan anak.

Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Cara Nabi saw. Mendidik Anak.