Empat Kunci Pembuka Pintu Rezeki

Rezeki dari Allah Azza wa Jalla sangat luas cakupannya, bukan sekadar harta. Kesehatan adalah rezeki, anak keturunan adalah rezeki, makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, rumah, ketenangan, kemampuan untuk taat kepada Allah adalah rezeki. Dan, Allah Mahatahu rezeki apa yang terbaik bagi kita, sehingga kita bisa selamat dunia akhirat.

Rezeki akan terhambat dengan maksiat. Sebaliknya, rezeki pun akan deras menghampiri dengan ketaatan.

Maka, saat seseorang ingin rezekinya lancar, tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya kecuali dengan memperbanyak ketaatan kepada Allah. Semakin taat semakin melimpah rezeki kita.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan 4 amalan yang akan melancarkan rezeki seorang hamba. Pertama, shalat malam (Tahajud). Kedua, memperbanyak istighfar pada waktu sahur. Ketiga, membiasakan sedekah. Keempat, berzikir pada wal pagi dan sore hari. (Zâdul Ma’ad, 4:378)

Ketika Tabiat Buruk Pasangan Tak Kunjung Berubah

Terkadang ada sikap pasangan yang tidak kita sukai. Mengkomunikasikannya sudah, berusaha memperbaikinya sudah, tapi dia tak kunjung berubah. Kalau pun berubah, itu hanya sementara untuk kemudian kembali pada kebiasaan lama.

Jika demikian, apa solusinya?

Al-Quran memberikan jawaban: bersabarlah! Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla akan mengganti kesabaran dalam kondisi semacam ini dengan khairan (kebaikan) yang banyak.

“… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisâ’, 4:19)

Jangan Jadi Orangtua Ahli PHP

Jangan pernah berjanji kepada anak, sekecil dan sesederhana apapun, kecuali orangtua harus menunaikannya. Jangan pernah bohong atau ingkar janji kepada mereka. Jangan sampai kita menjadi orangtua ahli PHP (pemberi harapan palsu) kepada mereka.

Ada satu nasihat dari Abdullah bin Mas’ud ra. “Kedustaan tidak diperbolehkan baik dalam serius atau main-main, dan tidak diperbolehkan salah seorang dari kalian menjanjikan kepada anaknya dengan sesuatu, lalu dia tidak menepatinya.” (Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Adabul Mufrad, No. 300)

Mengingkari janji kepada akan bisa melahirkan aneka keburukan, di antaranya: (1) memudarnya kepercayaan anak kepada orangtua, (2) memberi teladan yang buruk, dan (3) menyelisihi sunnah Rasulullah saw. dan para sahabat.

Jangan Sepelekan Niat

Memberikan minum kepada suami, menyuapi anak makan, berbelanja ke pasar, membersihkan rumah, dan beragam aktivitas di rumah adalah hal rutin bagi para ibu. Karena dilakukan nyaris setiap hati, beragam aktivitas ini menjadi biasa-biasa saja dan tidak tampak istimewa.

Namun tidak bagi seorang Mukmin, semua yang dilakukan di rumah selalu bernilai istimewa. Mengapa? Dia melakukannya karena mengharap ridha Allah.

Sesungguhnya, suatu perbuatan mubah yang disertai niat ibadah, maka perbuatan tersebut akan dicatat ibadah di sisi Allah. Apalagi kalau perbuatan yang bentuknya nyata-nyata ibadah, apabila disertai niat karena Allah, akan dahsyatnya pula efeknya, semakin besar pula pahalanya.

Maka, Imam Al-Ghazali menasihatkan:

“Setiap perbuatan mubah yang disertai dengan niat atau beberapa niat yang baik pasti bernilai ibadah (di sisi Allah) dan mendapatkan derajat yang tinggi … Maka, seorang hamba tidak selayaknya menganggap enteng sesuatu yang terletak dalam kalbu, yang dilakukan anggota tubuhnya dan setiap detik dari hidupnya.”

Pelukan yang Meredakan Kemarahan

Layaknya manusia lainnya, Rasulullah saw. pun bisa marah, termasuk kepada istri-istrinya. Hanya saja, kemarahan beliau adalah kemarahan penuh adab. Kemarahan beliau tidak mendatangkan apapun kecuali kebaikan dan keteladanan.

Dikisahkan bahwa Rasulullah saw. sempat ada kesal dan marah kepada Aisyah ra. yang terus mencemburui Khadijah binti Khuwailid, istri pertama beliau. Padahal, saat itu Khadijah sudah meninggal.

Maka, saat Aisyah tengah cemburu itu, Rasulullah saw. berkata kepada Aisyah, “Tutuplah matamu!” Aisyah pun menutup matanya. Saat itulah Rasulullah saw. mendekat dan memeluk Aisyah sambil berkata, “Ya Humaira-ku, marahku telah pergi setelah aku memelukmu.” (HR Muslim)

Itulah Rasulullah saw. Semarah dan sekesal apapun, beliau tidak pernah menyakiti istrinya, entah dangan kata-kata apalagi tindakan fisik. Beliau senantiasa mengedepankan akhlak yang baik, kesabaran dan kasih sayang kepada mereka.

Ladang Jihad Seorang Wanita

Hidup wanita dipenuhi ladang jihad fi sabilillah. Jika dia menjalaninya dengan senyum keikhlasan, tanpa keluh kesah dan penyesalan, surga sudah menanti di hadapannya. Satu di antaranya adalah berusaha meringankan beban pekerjaan suaminya, terkhusus di rumah.

Ini pula yang dijalani oleh para wanita utama dari kalangan shahabiyah Rasulullah saw. Satu di antaranya Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shaddiq, saudari satu ayah beda ibu dari Ummul Mu’minîn Aisyah ra.

“Aku dinikahi oleh Zubair (bin Awwam) yang tidak memiliki harta dan pelayan kecuali seekor unta (penyiram) dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan kudanya, menimba air dan menjahit geriba (tempat air dari kulit).

Aku pula yang membuat adonan gandum. Hanya saja, aku tidak pandai membuat roti. Itulah mengapa, para tetanggaku (kaum Anshar) yang membuatkan aku roti. Mereka adalah wanita-wanita terbaik.

Aku juga menjunjung buah kurma di atas kepalaku dari kebun yang diberikan Rasulullah saw. kepada Zubair sejauh dua pertiga farsakh (1 farsakh = 5.541 km).” (HR Al-Bukhari, No. 5224 dan Muslim, No. 2182)

Adakah di antara kita yang hidupnya lebih berat dari Asma’ binti Abu Bakar, salah seorang wanita ahli surga? Sesudah dan seberat apapun hidup, dia tidak pernah mengeluh, termasuk saat mendapati suami tak punya apa-apa.

Padahal, sebelum berhijrah ke Madinah, baik Asma’ maupun Zubair berasal dari keluarga terpandang Mekkah yang hidupnya berkecukupan.

Sungguh, keimanan membuat kesulitan dan aneka keterbatan hidup menjadi lebih ringan untuk dihadapi.

Ketika Pasananmu Marah

Dalam hidup berumahtangga, suami kesal dan marah kepada istri itu biasa. Istri kesal dan marah kepada suami, itu pun biasa. Syaratnya? Jangan terlalu sering, kelewat batas dan melahirkan kezaliman.

Maka, marah kepada pasangan perlu dikelola sehingga bisa mendatangkan aneka kebaikan dan semakin merekatkan hubungan.

Kita bisa belajar dari sosok Abu Dawud, seorang pakar hadits terkemuka. Satu ketika beliau berkata kepada istrinya, “Jika engkau melihat aku sedang marah, relakanlah! Jangan dilawan. Dan, apabila aku melihatmu sedang marah, aku pun akan merelakanmu. Aku tidak akan melawanmu. Kalau tidak begitu, kita tentu tidak akan bersatu.”

Ini artinya, besi jangan dilawan besi, nanti ada yang patah atau penyok. Kemarahan suami jangan dihadapi dengan kemarahan istri, demikian pula sebaliknya, karena akan terjadi perkelahian dan bencana. Hadapi kemaraha dengan semyuman, diam dan pemaafan, niscaya kemarahan itu akan reda dan berakhir bahagia. (H. Hadiyah Salim, Rumahku Mahligaiku)