Ssttt…Jangan Bicarakan Hal Ini pada Suami, Bahaya!

Ada banyak hal yang boleh dibicarakan seorang istri kepada suaminya. Namun, ada pula yang tidak boleh. Salah satunya adalah membicarakan kecantikan dan kelebihan wanita lain sehingga tergambar keadaan si wanita dalam benak suaminya.

Hal semacam ini bisa membangkitkan syahwat dan kepenasaran sang suami kepada wanita tersebut, atau setidaknya melahirkan angan-angan dan pikiran kotor.

Maka, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang istri menceritakan sifat-sifat wanita lain pada suaminya sehingga dia seolah-olah melihatnya.” (HR Al-Bukhari, No. 5240)

Sosok Majikan Dambaan

Tidak akan pernah habis kita membicarakan keluhuran akhlak Rasulullah saw. termasuk sikap beliau kepada pembantunya. Kata dan sikap beliau senantiasa terjaga dalam kebaikan, tiada celaan, bentakan, apalagi hinaan dan pukulan.

Cukuplah kesaksian sahabat Anas bin Malik ra. sebagai bukti.

Anas bercerita, “Aku tidak pernah menyentuh sutra tebal dan sutra tipis yang lebih lembut daripada telapak tangan Rasulullah saw. Aku tidak pernah mencium bau harus yang lebih wangi dari serebaknya Rasulullah saw.

Sungguh, aku melayani Rasulullah saw. selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah sekalipun berkata, ‘Hus!’ kepadaku.

Beliau tidak pernah berkata pada sesuatu yang aku kerjakan (dengan kata-kata celaan), ‘Mengapa engkau lakukan ini?’

Tidak pula berkata pada sesuatu yang tidak aku lakukan, ‘Seharusnya engkau lakukan ini!'” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Agar Rumah Penuh Berkah

Boleh jadi, ada rumah yang sederhana tampilannya akan tetapi tampak nyaman, tenang dan memancarkan aura kebaikan. Apa sebabnya? Pasti karena aktivitas penghuninya. Ada Al-Quran yang sering dibacakan. Ada shalat malam yang rutin dikerjakan.

Ada sedekah yang istiqamah ditebarkan. Ada pula kebaikan yang rutin disebar bagi tetangga sekitarnya. Inilah yang menjadikan Allah menghadirkan cahaya pada rumah tersebut.

Maka, alangkah tepat apa yang Rasulullah saw. sabdakan, “Silaturahim, akhlak mulia dan berbuat baik kepada tetangga akan memakmurkan rumah dan menambah umur.” (HR Ahmad, Silsilah Ash-Shahihah, No. 519)

Kemuliaan Seorang Juru Damai

Dalam keburukan orang lain terkadang ada kebaikan yang bisa kita ambil. Satu yang paling dahsyat pahalanya adalah mendamaikan dua orang yang bersengketa. Apalagi kalau yang bersengketa itu suami dan istri, kakak dan adik, atau orang yang punya hubungan kekerabatan.

Siapa melakukannya, niscaya dia akan mendapatkan pahala yang lebih utama daripada supasa, shalat dan sedekah. Dari Abu Darda ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Maukah aku kabarkan kepadamu satu amalan yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat dan sedekah?” Sahabat menjawab, “Iya (kami mau).”

Beliau pun bersabda, “Mendamaikan dua orang yang bersengketa …” (HR Abu Dawud, Ahmad, At-Tirmidzi, dalam Shahih Al-Jami’, No, 2595)

Mengapa amalan ini demikian besar pahalanya? Sesungguhnya, ketika seseorang bisa mendamaikan dua orang yang bersengketa, dia seakan telah memutus lingkaran setan keburukan yang dihasilkan oleh persengketaan tersebut. Pada saat yang sama, dia telah membuka pintu-pintu kebaikan dari hadirnya perdamaian.

Bermusyawarahlah! Karena Nabi SAW pun Bermusyawarah

Tidak akan merugi orang yang senang bermusyawarah, termasuk saat ada permasalahan di rumahtangga. Adapun pihak yang terlibat bisa disesuaikan dengan jenis dan berat tidaknya masalah yang dihadapi. Bisa hanya suami dengan istri atau ditambah pihak lain.

Dengan bermusyawarah solusi terbaik bisa didapatkan dan kezaliman bisa dihindarkan.

Ini pula yang kerap dijalankan Rasulullah saw. manakala beliau dihadapkan para persoalan pelik terkait urusan umat. Beliau tidak segan untuk mengajak istri-istri atau para sahabat untuk bermusyawarah.

Saat muncul fitnah kepada ‘Aisyah ra. (hadîts al-ifki) yang dihembuskan orang-orang munafik misalnya, beliau berkonsultasi dengan orang-orang terdekatnya, yaitu Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid dan Zainab. Beliau berkonsultasi dengan Barirah, orang yang sangat mengenal ‘Aisyah.

Nabi saw. pun tidak lupa berkonsultasi dengan sejumlah sahabat terkait kaum munafik yang tidak pernah bosan untuk merusak nama baiknya. “Apa pendapat kalian tentang sekelompok orang yang paling benci kepada istriku (‘Aisyah)? Sungguh, yang aku tahu, istriku ini orang baik-baik,” demikian tanya beliau kepada mereka. (Syaikh Musthafa Al-‘Adawy, Fikih Akhlak)

Apa yang beliau lakukan sesuai dengan apa yang Allah Ta’ala perintahkan:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imrân, 3:159)

Stop! Jangan Ungkit Luka Lama

Setiap orang punya masa lalu, punya pula aib atau kekurangan. Maka, di antara kunci keharmonisan, ketenteraman dan hadirnya rasa saling percaya di antara suami istri adalah tidak mengungkit-ungkit kesalahan, cela pada masa lalu, kekurangan diri atau hal-hal yang bisa membangkitkan kesedihan. Terungkitnya aib masa lalu bisa merusak kebahagiaan yang tengah dirasakan.

Lain halnya dengan kebaikan, kelebihan, memori indah, atau sesuatu yang membanggakan, kita diperbolehkan untuk membicarakannya atau mengingat-ingatkan kembali. Mengapa? Karena, itu bisa melahirkan rasa bahagia dan ketenteraman jiwa.

Maka, andai harus ada yang diungkit, ungkitlah kenangan indah, kelebihan atau kebaikan pasangan. Dijamin, hal ini akan lebih mempererat hubungan!

Jangan Gagalkan Anak Kita untuk Menjadi Penghafal Al-Quran

Ibu Bapak, kalau kita belum berhasil menjadi penghapal Al-Quran, jangan gagalkan anak-anak kita untuk menjadi penghapal Al-Quran. Untuk apa?

Agar kelak, pada hari Kiamat kita bisa berkata, “Ya Allah, ampunilah hamba yang tidak bisa menjadi penghapal Al-Quran. Namun ya Allah, saksikanlah anak hamba bisa menjadi penghapal Al-Quran.”

Karena status anaknya sebagai penjaga Al-Quran, orangtua akan pula mendapatkan mahkota dan baju kemuliaan dari Allah berkat kemuliaan status yang disandang anaknya.