Kerja Sampingan sang Gubernur

Sebaik-baik suami adalah dia yang senang meringankan beban pekerjaan istrinya. Dia bersikap lembut, penyayang lagi amat menjaga perasaan sang istri.

Saat marah, dia tidak berlaku kasar. Saat tidak senang, dia tidak mengumpatnya. Saat bisa mengerjakan suatu pekerjaan seorang sendiri, dia pun tidak menyeruh sang istri untuk melakukannya.

Kita bisa belajar dari para sahabat tentang bagaimana mereka memperlakukan istri. Salah satunya dari Salman Al-Farisi ra.

Imam Adz-Dzahabi, dalam Al-Kabâir, mengisahkan bahwa ada serombongan orang mendatangi Salman Al-Farisi ra. Saat itu, dia menjabat sebagai gubernur di Madain. Orang-orang ini melihat sang gubernur tengah membuat adonan roti untuk keluarganya.

Mereka pun berkata, “Apakah tidak sebaiknya istrimu yang melakukannya?”

Salman pun menjawab, “Aku sudah menyuruhnya untuk melakukan suatu pekerjaan. Itulah mengapa, aku tidak ingin membebaninya dengan pekerjaan lain.”

Cinta Rasullullah SAW kepada Cucunya

Amat besar rasa cinta Rasulullah saw. kepada putra-putri dan cucu-cucunya, demikian pula kepada putra-putri para sahabat lainnya. Tidaklah beliau bertemu mereka, kecuali kasih sayang yang beliau tunjukkan.

Salah satunya adalah saat bertemu cucu kesayangannya, Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Saat itu, beliau menggendongnya, menciumnya dan mendoakan kebaikan baginya. Beliau berkata:

“Husain adalah dariku dan aku adalah dari Husain. Semoga Allah mencintai siapapun yang mencintai Husain. Sesungguhnya, Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

Terkait sabda Nabi saw. ini, Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury menjelaskan:

“Husain adalah dariku dan aku adalah dari Husain” maksudnya adalah, mereka berdua saling terhubung sedemikian rupa sehingga yang satu adalah bagian dari yang lain.

“Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain” maksudnya adalah dalam berbuat kebaikan. Atau, berarti pula bahwa keturunan Husain akan membentuk suku-suku. Hal ini menjadi rujukan bahwa keturunan banyak dan akan bertahan sehingga mereka masih ada sampai saat ini. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 178/10)

Syaikh Shalih Al-Munajjid, Seni Interaksi Rasulullah saw.
[24/1 06.37] Eman Tasdikiya: *Caption DAPA*

Saat kita mengulurkan bantuan kepada sesama, sejatinya, yang paling diuntungkan dengan hadirnya bantuan, infaq atau sedekah tersebut adalah kita yang memberi bukan mereka yang menerima.
Bagaimana bisa?

Terkait hal ini, ada penjelasan yang sangat tepat dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Beliau bertutur:

“Tentu saja, pengemis (fakir miskin, anak yatim, atau orang-orang yang kelaparan lagi membutuhkan bantuan), adalah anugerah dari Allah Azza wa Jalla. Sebab, dia mengambil sedikit bagian dari duniamu agar engkau mendapatkan bagian yang lebih besar di akhirat!

Dia menyimpankan untukmu sesuatu yang kelak akan kau temukan di akhirat, pada hari ketika engkau teramat membutuhkannya.

Memang, apa yang engkau berikan akan musnah dan hilang, akan tetapi sedekahmu kepadanya akan dilipatgandakan beberapa tingkatan di sisi Allah Ta’ala.”

Al-Jailani, Purification of the Mind (Jilâ’ Al-Khâthir), dalam Sura

Apapun Masalahnya Allah-lah Pemilik Solusinya

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali ada obatnya. Tidaklah Allah menghadirkan masalah, musibah, atau ujian hidup kecuali ada solusinya.

Maka, saat sakit, tugas kita adalah berobat dengan cara yang dibenarkan. Saat didera masalah, tugas kita adalah mencari solusi dengan cara yang dibenarkan pula.

Tentu saja, dalam prosesnya dari awal sampai akhir, keterikatan kita kepada Allah jangan sampai terlepas. Dengan cara inilah, semua yang kita alami bisa menjadi pengangkat derajat di sisi-Nya. In syâ Allah.

Cukuplah janji Rasulullah saw. sebagai penghibur diri, “Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kekhawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Paman Pendukung VS Paman Penghalang

Secara nasab, Rasulullah saw. memiliki sembilan orang paman laki-laki. Mereka adalah saudara seayah dari Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahanda Nabi saw.

Namun, dari 10 anak lelaki Abdul Muthalib, hanya ada 4 orang yang masih hidup saat Muhammad saw. diangkat menjadi nabi.

Mereka adalah Abu Thalib, Abdul Uzza (Abu Lahab), Al-Abbas dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Sebelum diangkat menjadi Nabi saw. mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai lagi membanggakan Muhammad saw.
Namun, saat beliau mendakwahkan Islam, sikap mereka pun terbelah. Ada yang mendukung. Ada yang menentang, bahkan memusuhi.

Al-Abbas dan Hamzah masuk Islam dan turut membantu dakwah Rasulullah saw.

Abu Thalib mendukung dan membela dakwah Nabi saw. tetapi dia tidak masuk Islam.

Abu Lahab menjadi pembenci sekaligus penentang terbesar dakwah Nabi saw.

Maka, kedekatan nasab bukan jaminan datangnya hidayah. Terbukanya hati pada kebenaran, hilangnya iri dengki dan kesombongan, itulah kunci datangnya hidayah dan pertolongan Allah.

Bolehkan Nge-Prank Teman untuk Gurauan ?

Seorang Muslim adalah dia yang orang lain selamat dari gangguan tangan, lisan dan perbuatannya. Maka, jangankan mengambil hak milik orang lain secara paksa, menumpahkan darahnya, menyakiti fisik dan psikisnya, atau mencemarkan nama baiknya, bahkan sekadar menakuti-nakuti, membuatnya cemas, kaget atau malu, menjahili atau mengusilinya untuk gurauan (nge-prank) termasuk hal yang terlarang untuk dilakukan.

Hal ini boleh jadi sepele dan lucu dalam pandangan orang sekarang, akan tetapi besar konsekuensinya di hadapan Allah Ta’ala.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang Muslim menakut nakuti (atau membuat kaget) seorang Muslim yang lain.” (HR Abu Dawud)

Dalam hadits lain disebutkan, “Tidak boleh salah seorang dari kalian mengacungkan senjata kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi setan menghempaskannya dari tangannya, hingga dia jatuh ke dalam jurang neraka.” (HR Muttafaqun ‘Alaih)

Intinya, seorang Muslim dilarang melakukan semua sebab atau jalan keburukan atau kebinasaan, baik dilakukan secara sungguhan ataupun gurauan. (Syaikh Al-‘Utsaimin, Syarah Riyadhus Shâlihîn, 6/556)

Ciri Seorang Mukmin di Akhir Zaman

Di antara ciri dekatnya Kiamat adalah semakin menurunnya kualitas akhlak manusia. Keburukan merejalela dan kebaikan semakin terpinggirkan. Maksiat semakin bisa dan amal saleh menjadi aneh.

Namun demikian, bagaimana pun keadaannya, seorang Muslim yang lurus imannya dia tidak akan terpengaruh. Imannya tetap kokoh. Ibadahnya tetap istiqamah. Sikapnya tidak berubah dalam menetapi kebenaran. Layaknya ikan di lautan, dagingnya tetap tawar walau lingkungannya asin.

Rasulullah saw. bersabda, “Hari Kiamat tidak akan datang sehingga orang yang tepercaya didustakan, sedangkan orang-orang khianat justru dipercaya. Kemesuman dan cercaan (kata-kata kotor) telah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat, terputusnya tali silaturahim dan hubungan bertetangga yang buruk.

Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya seorang mukmin bagaikan sepotong emas. Ditempa menjadi apapun emas itu nilainya tidak pernah berkurang.

Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya seorang seorang mukmin itu bagaikan lebah. Makanannya baik dan menghasilkan yang baik. Lebah itu hinggap di (ranting) bunga, akan tetapi tidak sampai merusak bunganya dan juga tidak mematahkan rantingnya.” (HR Ahmad, Al-Musnad, 2:266)

Kemudahan Al-Qur’an

Tidaklah Al-Quran diturunkan, kecuali dia telah dimudahkan untuk dibaca, dihapalkan dan dipelajari. Inilah jaminan dari Allah Ta’ala yang tertuang dalam surah Al-Qamar ayat 17:

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk (menjadi) pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar, 54:17)

Allah Ta’ala mengulang-ulang ayat ini empat kali dalam surat yang sama. Taisîr (pemberian kemudahan) yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala mencakup kemudahan dalam membaca, menghapalkan, memahami dan mengamalkannya. (Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di)

Ada sejumlah fakta menarik tentang bagaimana Allah memudahkan Al-Quran, baik dari segi membacanya, menghapalnya dan memahami maknanya.

Salah satunya disebutkan Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya yang berjudul Oase Al-Quran. Beliau mengatakan bahwa jumlah huruf Hijaiyah Arab itu ada 28. Huruf yang keluar dari tenggorokan berjumlah 6 huruf (39 persen). Selebihnya (kebanyakan) adalah huruf yang keluar dari lisan (lidah), yaitu sejumlah 22 huruf (61 persen).

Pada praktiknya, huruf-huruf yang keluar dari lisan relatif lebih mudah untuk diucapkan. Hal ini menunjukkan kebenaran firman Allah Ta’ala bahwa Al-Quran (terkhusus dari segi membacanya) adalah mudah.